“MENELANJANGI
DIRI
DI
HADAPAN TUHAN”
Sabtu 19 Januari 2013
Ibr 4 : 12 – 16 Mrk 2:13-17
Homili Misa di Biara St.Maria
Jl. Dharmo – Surabaya
P. Benediktus Bere Mali,
SVD
Setiap wilayah
yang berada dalam kekacauan karena peperangan pasti mengundang pihak keamanan
untuk memelihara keamanan dan kedamaian di tempat tersebut. Sebaliknya kalau
sebuah daerah sudah damai dan masing-masing orang sadar menegakkan kedamaian di
dalam hidupnya maka kebutuhan akan pihak kemanan dari luar tidak dibutuhkan
lagi. Masing-masing orang dalam masyarakat adalah penjaga kemanan bagi diri dan
sesamanya.
Dengan kata lain
antara konflik sosial dengan pihak kemanan berlaku prinsip ini. Semakin tinggi
kekacauan semakin tinggi kebutuhan akan kehadiran pihak keamanan di daerah
konflik. Sebaliknya semakin aman atau semakin rendah tingkat konflik sosial atau
semakin damai sebuah wilayah semakin kurang atau semakin kecil atau semakin
tidak ada kebutuhan akan pihak keamanan dari luar.
Persoalannya
adalah apakah dengan tidak ada konflik, kesejahteraan pihak keamanan yang
kembali ke barak itu selalu terjamin dan atau apa pekerjaan alternatif bagi
mereka sebagai mahkluk yang memiliki martabat sebagai makhluk bekerja? Kalau
tidak ada lapangan pekerjaan alternatif yang mendukung kesejahteraan keluarga,
pimpinan tidak memperhatikan kesejahteraan mereka, apakah tidak ada di dalam
benak mereka dengan rancangan yang sistematis untuk menciptakan konflik agar
nilai pihak keamanan tetap dibutuhkan dan pekerjaan mereka tetap ada dengan
harga material yang baik untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan mereka? Pertanyaan-pertanyaan
ini adalah sebuah arahan menuju pemahaman yang global untuk menciptakan
keamanan dan kedamaian universal dalam kehidupan bersama. Pertanyaan-pertanyaan
ini adalah sebuah tuntunan yang mengantar manusia pada umumnya dan pihak
kemanan untuk mengadakan pembaharuan diri dalam membangun keamanan dan kedamaian
bersama melintas batas.
Sama seperti pihak
keamanan membutuhkan konflik sosial, dalam memainkan perannya memelihara
keamanan dan kedamaian bersama, dan seorang dokter membutuhkan orang sakit, dalam
memainkan perannya menyehatkan kembali yang sakit, demikian juga Yesus datang
untuk menyelamatkan orang berdosa. Yesus membutuhkan orang berdosadalam
memainkan peranNya sebagai Adam Baru yang menuntun orang berdosa yang telah
meninggalkan Firdaus pertama yang dihilangkan oleh Adam Lama dengan dosanya, kembali
ke Firdaus Baru yang telah di temukan di dalam Yesus sendiri.
Yesus makan
bersama dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Yesus memangil Lewi
si pemungut cukai itu menjadi muridNya. Jawaban Lewi si pendosa mengikuti Yesus
menunjukkan bahwa Lewi bertobat dari cara hidup yang lama dan menempuh cara
hidup yang baru. Kalau pada masa lalu Lewi memainkan perannya sebagai pemungut
pajak dengan pungutan yang memeras dan mencari keuntungan untuk diri sendiri,
kini dengan jawaban atas panggilan Yesus dan menjadi MuridNya, berarti dia telah
meninggalkan kerja lama yang membuat dia berjalan semakin jauh dari Tuhan, dan
kini dia berjalan kembali di jalan menuju jejak Yesus yang menyelamatkan. Lewi
sadar akan dosanya dan kini bertobat. Lewi menelanjangi diri di hadapan Tuhan
Yesus sebagai orang berdosa yang telah bertobat.
Sebaliknya Ahli
Taurat yang setiap hari cukup dekat dan akrap dengan kehidupan keagamaan,
membeda-bedakan sesama manusia ciptaan Tuhan, dalam relasinya. Prinsip
pembedaan Ahli Taurat adalah boleh bergaul dengan orang yang tidak berdosa,
tidak boleh bergaul dengan orang yang berdosa. Bagi Ahli Taurat Yesus adalah
seorang yang tidak berdosa. Maka aneh, kalau Yesus itu duduk bersama orang
berdosa dan makan bersama Lewi dan kawan-kawannya yang digolongkan sebagai
orang berdosa. Di sini kita menemukan
bahwa Ahli Taurat itu menganggap diri mereka orang yang baik dan benar. Mereka
menentukan siapa yang berdosa dan tidak berdosa. Mereka membatasi orang dalam
berelasi. Orang yang berdosa hanya berelasi dengan orang yang berdosa. Orang
yang berdosa tidak boleh berelasi dengan orang yang tidak berdosa. Orang yang
tidak berdosa bergaul dengan orang yang tidak berdosa.
Yesus datang ke
dunia untuk membongkar tembok rohani ciptaan Ahli Taurat yang sangat
diskriminatif itu. Tirai pembedaan itu harus diruntuhkan. Yesus meruntuhkannya
bukan dengan kekerasan. Tetapi dengan teladan dan kata. Ketika Yesus duduk
makan bersama orang berdosa dan ditegur Ahli Taurat, Yesus menelanjangi
pemahaman mereka yang sangat diskriminatif itu dengan berkata : “ Seorang
dokter membutuhkan orang sakit. Aku datang membutuhkan orang yang berdosa,
bukan orang benar.” Artinya, Yesus tidak membutuhkan orang yang menganggap diri
benar seperti Ahli Taurat. Yesus membutuhkan orang yang berdosa seperti Lewi
yang bertobat dengan mengikuti jalan yang dilalui Yesus yaitu jalan yang
menyelamatkan, bukan menyesatkan.
Sabda Allah
menelanjangi diri Lewi, Ahli Taurat dan kita para beriman, karena di hadapan
Sabda Allah semuanya telanjang. (Bdk. Ibr 4 : 12 -13).