Kamis, Mei 30, 2013

Homili Kamis 30 Mei 2013



“CREDO ERGO SUM”
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*

Manusia adalah mahluk multidimensi. Rene Descartes mendekati manusia dengan prinsipnya “Cogito Ergo Sum” yang berarti saya (manusia) berpikir maka saya (manusia) ada”.  Sebaliknya St. Anselmus mendekati manusia dengan prinsipnya yang terkenal adalah “Credo ergo sum”, artinya saya (manusia) percaya, maka saya (manusia) ada. Dari kedua pemahaman tersebut, keduanya mempunyai alasan masing-masing untuk mengembangkan argumentasinya. Cogito ergo sum mengumatakam otak atau budi atau kepala dalam diri manusia. Sebaliknya Credo ergo sum menempatkan iman, kepercayaan, pada posisi sentral. Bagi saya, kedua pemahaman tentang manusia itu saling melengkapi tidak saling bertentangan untuk semakin dalam mengenal dan memahami manusia yang memiliki beraneka dimensi.
Bartimeus datang kepada Yesus adalah Mesias, Putera Daud. Dia memohon kepadaNya untuk disembuhkan dari kebutaannya. Dia melihat dan mengalami sendiri betapa besar kasih Tuhan Yesus kepadanya. Ketika banyak orang melarang Bartimeus mengakui Yesus sebagai Mesias Putera Daud dan memohon kesembuhan kepadaNya, justru Yesus mempersilahkan Bartimeus datang kepadaNya. Bartimeus melihat Yesus sebagai Tuhan yang mau berdialog dengan manusia bukan Tuhan yang membatasi dialog dengan manusia. Dialog itu mendalam. Yesus meminta kepada Bartimeus tentang kebutuhan mendasar dia datang kepadaNya, bukan keinginannya. Bartimeus menyampaikan intisari kebutuhan dasar yaitu untuk disembuhkan dari sakit butanya.
Kebutuhan Bartimeus itu didengarkan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus melihat usaha dan upaya Bartimeus untuk disembuhkan. Bartimeus teriak mengakui Yesus adalah Mesias Putera Daud. Imannya itu memberikan kesembuhan kepadanya. Yesus bersabda : “Pergilah Bartimeus, Imanmu telah menyelamatkan engkau”. Pada saat itu juga sembuhlah Bartimeus. Mujizat penyembuhan lahir dari iman. Bukan Mujizat melahirkan iman bagi Bartimeus.
Dua tahun lalu terjadi penampakan Bunda Maria di perbatasan Timor Leste dengan Indonesia. Bunda Maria menampakkan diri di sebuah gua seorang perempuan janda. Perempuan itu mewartakan hal itu dari mulut ke mulut sampai akhirnya lautan manusia datang ke gua itu berdoa Rosario di depan penampakan Maria itu. Pada hal sebelumnya daerah itu jarang berdoa Rosario. Suatu ketika kaum berjubah pun datang ke tempat penampakan itu. Mereka masuk ke Gua dan mengambil patung itu lalu menelitinya. Ternyata di balik patung itu ada harga patung dan penjual patung itu. Kaum berjubah itu langsung tanya pada ibu janda itu, dan ternyata benar dia beli patung itu dan menempatkan di gua dekat rumahnya lalu bakar lilin berdoa lalu ceriterakan secara lisan bahwa terjadi penampakan Bunda Maria.
Semua masyarakat dan umat mendapat penjelasan dari kaum berjubah tentang penampakan Maria itu bahwa penampakan itu tidak benar karena Patung Maria itu dibeli di  salah satu tokoh Rohani dan buktinya ada di balik Patung Maria itu tertulis penjual patung dan harga patung tersebut. Setelah mendapat penjelasan itu, umat pun dengan aneka perasaan marah, jengkel pada ibu itu, lantas doa Rosario pun mulai memudar.
Iman umat bisa dinilai dari peristiwa ini. Umat mengharapkan mujizat penampakan Bunda Maria melahirkan Iman dan kepercayaan kepada Tuhan, bukan Iman yang melahirkan mujizat. Dalam dunia seperti ini iman kepada Tuhan dapat dijelaskan dengan Budi. Iman dan Budi adalah dua sisi dari satu koin kehidupan rohani kita.

Homili Kamis 30 Mei 2013
Sir 42: 15-25
Mzm 33
Mrk 10:46-52

Rabu, Mei 29, 2013

“LEAD BY EXAMPLE”


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*

Manusia adalah multidimensi. Satu dimensi yang ditampilkan pada kesempatan ini adalah kepemimpinan. Satu tokoh yang terkenal memberikan cara menjadi seorang pemimpin yang baik adalah Kihajar Dewanatara. Ia memberikan tiga cara prinsip yang semestinya dimiliki seorang pemimpin yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo artinya seorang pemimpin memberikan contoh kepada mereka yang dipimpin atau seorang pemimpin berjalan di depan mereka yang dipimpinnya; Ing Madya Mangunkarsa yang artinya seorang pemimpin hadir di antara yang dipimpinnya dengan memberikan semangat kepada yang dipimpinnya; dan Tut Wuri Handayani yang berarti seorang pemimpin mendorong dari belakang mereka yang dipimpinnya ke arah yang baik dan benar, yang berbobot untuk kebaikan bersama dan diri sendiri.
          Yesus dan murid – muridNya datang ke Yerusalem untuk melihat penderitaan Yesus dan kemenangan Tuhan Yesus atas maut. Perjalanan itu sepertinya sudah diatur sedemikian rapi. Yesus adalah pemimpin dan Guru bagi para muridNya dengan berjalan di depan mereka berjalan menuju Yerusalem untuk sang Guru menderita, wafat, dan kemudian bangkit pada hari ketiga sebagai bukti kemenangan Tuhan Yesus atas maut dan kematian. Para muridNya dengan penuh kecemasan dan ketakutan serta pemikiran akan suksesi kepemimpinan, sambil terus setia mengikuti Tuhan Yesus menuju Yerusalem dari belakang Sang Guru. Ada murid yang tenggelam dalam kecemasan dan ketakutan terus mengikuti Tuhan Yesus. Ada yang dikuasai oleh perebutan kekuasaan dan mengungkapkan ambisinya itu kepada Tuhan Yesus. Menghadapi ambisi dua murid yang minta posisi atau kedudukan pada Yesus itu, sepuluh murid yang lain marah terhadap mereka dua. Kesempatan itu menjadi konteks yang paling baik digunakan Tuhan Yesus untuk memberikan pencerahan kepada para murid tentang intisari menjadi pemimpin.
     Yesus menjelaskan dengan memberikan contoh. Menjadi pemimpin untuk menjadi hamba yang melayani sampai mati seperti diriNya yang berjalan ke Yerusalem menuju derita salib di jalan menuju Golgota untuk menyelamatkan semua orang lintas batas yang percaya kepadaNya. Menjadi pemimpin bukan untuk menjadi pribadi yang dilayani oleh bawahannya.
     Kita umat Katolik percaya kepada Tuhan Yesus yang memimpin dengan memberi contoh kepada kita para pengikutNya. Orang berkata bahwa kata-kata itu menggerakkan tetapi teladan hidup atau contoh hidup itu lebih menggerakan.  Tuhan Yesus memiliki itu dan kita yang percaya kepadaNya pun berjuang memiliki hal itu di dalam kehidupan nyata kita.

Homili di Ursulin Jl. Dharmo Surabaya
Rabu 29 Mei 2013
Sir 36 : 1.4-5a.10-17
Mzm 79
Mrk 10:32-45

ING NGARSO SUNG TULODO



“LEAD BY EXAMPLE”
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*

Manusia adalah multidimensi. Satu dimensi yang ditampilkan pada kesempatan ini adalah kepemimpinan. Satu tokoh yang terkenal memberikan cara menjadi seorang pemimpin yang baik adalah Kihajar Dewanatara. Ia memberikan tiga cara prinsip yang semestinya dimiliki seorang pemimpin yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo artinya seorang pemimpin memberikan contoh kepada mereka yang dipimpin atau seorang pemimpin berjalan di depan mereka yang dipimpinnya; Ing Madya Mangunkarsa yang artinya seorang pemimpin hadir di antara yang dipimpinnya dengan memberikan semangat kepada yang dipimpinnya; dan Tut Wuri Handayani yang berarti seorang pemimpin mendorong dari belakang mereka yang dipimpinnya ke arah yang baik dan benar, yang berbobot untuk kebaikan bersama dan diri sendiri.
          Yesus dan murid – muridNya datang ke Yerusalem untuk melihat penderitaan Yesus dan kemenangan Tuhan Yesus atas maut. Perjalanan itu sepertinya sudah diatur sedemikian rapi. Yesus adalah pemimpin dan Guru bagi para muridNya dengan berjalan di depan mereka berjalan menuju Yerusalem untuk sang Guru menderita, wafat, dan kemudian bangkit pada hari ketiga sebagai bukti kemenangan Tuhan Yesus atas maut dan kematian. Para muridNya dengan penuh kecemasan dan ketakutan serta pemikiran akan suksesi kepemimpinan, sambil terus setia mengikuti Tuhan Yesus menuju Yerusalem dari belakang Sang Guru. Ada murid yang tenggelam dalam kecemasan dan ketakutan terus mengikuti Tuhan Yesus. Ada yang dikuasai oleh perebutan kekuasaan dan mengungkapkan ambisinya itu kepada Tuhan Yesus. Menghadapi ambisi dua murid yang minta posisi atau kedudukan pada Yesus itu, sepuluh murid yang lain marah terhadap mereka dua. Kesempatan itu menjadi konteks yang paling baik digunakan Tuhan Yesus untuk memberikan pencerahan kepada para murid tentang intisari menjadi pemimpin.
     Yesus menjelaskan dengan memberikan contoh. Menjadi pemimpin untuk menjadi hamba yang melayani sampai mati seperti diriNya yang berjalan ke Yerusalem menuju derita salib di jalan menuju Golgota untuk menyelamatkan semua orang lintas batas yang percaya kepadaNya. Menjadi pemimpin bukan untuk menjadi pribadi yang dilayani oleh bawahannya.
     Kita umat Katolik percaya kepada Tuhan Yesus yang memimpin dengan memberi contoh kepada kita para pengikutNya. Orang berkata bahwa kata-kata itu menggerakkan tetapi teladan hidup atau contoh hidup itu lebih menggerakan.  Tuhan Yesus memiliki itu dan kita yang percaya kepadaNya pun berjuang memiliki hal itu di dalam kehidupan nyata kita.

Homili di Ursulin Jl. Dharmo Surabaya
Rabu 29 Mei 2013
Sir 36 : 1.4-5a.10-17
Mzm 79
Mrk 10:32-45

Homili Rabu 29 Mei 2013



“LEAD BY EXAMPLE”
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*

Manusia adalah multidimensi. Satu dimensi yang ditampilkan pada kesempatan ini adalah kepemimpinan. Satu tokoh yang terkenal memberikan cara menjadi seorang pemimpin yang baik adalah Kihajar Dewanatara. Ia memberikan tiga cara prinsip yang semestinya dimiliki seorang pemimpin yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo artinya seorang pemimpin memberikan contoh kepada mereka yang dipimpin atau seorang pemimpin berjalan di depan mereka yang dipimpinnya; Ing Madya Mangunkarsa yang artinya seorang pemimpin hadir di antara yang dipimpinnya dengan memberikan semangat kepada yang dipimpinnya; dan Tut Wuri Handayani yang berarti seorang pemimpin mendorong dari belakang mereka yang dipimpinnya ke arah yang baik dan benar, yang berbobot untuk kebaikan bersama dan diri sendiri.
          Yesus dan murid – muridNya datang ke Yerusalem untuk melihat penderitaan Yesus dan kemenangan Tuhan Yesus atas maut. Perjalanan itu sepertinya sudah diatur sedemikian rapi. Yesus adalah pemimpin dan Guru bagi para muridNya dengan berjalan di depan mereka berjalan menuju Yerusalem untuk sang Guru menderita, wafat, dan kemudian bangkit pada hari ketiga sebagai bukti kemenangan Tuhan Yesus atas maut dan kematian. Para muridNya dengan penuh kecemasan dan ketakutan serta pemikiran akan suksesi kepemimpinan, sambil terus setia mengikuti Tuhan Yesus menuju Yerusalem dari belakang Sang Guru. Ada murid yang tenggelam dalam kecemasan dan ketakutan terus mengikuti Tuhan Yesus. Ada yang dikuasai oleh perebutan kekuasaan dan mengungkapkan ambisinya itu kepada Tuhan Yesus. Menghadapi ambisi dua murid yang minta posisi atau kedudukan pada Yesus itu, sepuluh murid yang lain marah terhadap mereka dua. Kesempatan itu menjadi konteks yang paling baik digunakan Tuhan Yesus untuk memberikan pencerahan kepada para murid tentang intisari menjadi pemimpin.
     Yesus menjelaskan dengan memberikan contoh. Menjadi pemimpin untuk menjadi hamba yang melayani sampai mati seperti diriNya yang berjalan ke Yerusalem menuju derita salib di jalan menuju Golgota untuk menyelamatkan semua orang lintas batas yang percaya kepadaNya. Menjadi pemimpin bukan untuk menjadi pribadi yang dilayani oleh bawahannya.
     Kita umat Katolik percaya kepada Tuhan Yesus yang memimpin dengan memberi contoh kepada kita para pengikutNya. Orang berkata bahwa kata-kata itu menggerakkan tetapi teladan hidup atau contoh hidup itu lebih menggerakan.  Tuhan Yesus memiliki itu dan kita yang percaya kepadaNya pun berjuang memiliki hal itu di dalam kehidupan nyata kita.

Homili di Ursulin Jl. Dharmo Surabaya
Rabu 29 Mei 2013
Sir 36 : 1.4-5a.10-17
Mzm 79
Mrk 10:32-45

Selasa, Mei 28, 2013

Homili Selasa 28 Mei 2013



“ETIKA : Protestan vs Katolik”
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*

Menusia itu multidimensi. Dimensi yang ditemukan dalam diri manusia yang mau ditampilkan pada kesempatan ini adalah sisi ekonomi dan iman. Manusia hidup membutuhkan uang. Kehidupan iman manusia pun dalam pengembangannya membutuhkan uang. Calvin mengatakan teologi dan kapitalisme itu sekutu. Keduanya bagaikan dua sisi dalam satu koin. Persekutuan yang kuat antara kapitalisme dan teologi dalam kenyataan lebih maju daripada teologi lebih diutamakan daripada kapitalisme. Misalnya di Indonesia daerah-daerah yang menganut persekutuan iman dan ekonomi lebih maju daripada daerah-daerah yang mengutamakan iman dan menempatan ekonomi di urutan berikutnya. Calvin lebih dalam mengatakan bahwa kemakmuran dan keselamatan itu berjalan seiring dan sejalan. Kemakmuran di dunia adalah keselamatan di dunia berjalan menuju kemakmuran dan keselamatan di Surga. Janji keselamatan Allah itu sama di dunia dan di surga, kini dan akan datang.
Pernyataan di atas menurunkan pertanyaan bagi permenungan kita. Apa perbedaan mendasar antara etika protestan dengan etika katolik. Etika protestan mengatakan bahwa kemakmuran di dunia adalah keselamatan yang menjadi nyata dari janji Allah akan keselamatan di surga. Dengan kata lain kemakmuran dan keselamatan di dunia adalah sebuah berkat dari percikan kemakmuran dan keselamatan dari langit yang telah menjadi nyata dalam perjalanan menunju kemakmuran dan keselamatan sempurna di surga yang merupakan wilayah urusan Tuhan Allah. Sedangkan etika katolik adalah utamakan Kerajaan Allah di dunia maka kemakmuran dan keselamatan dengan sendirinya akan datang dan akan mengalami kepenuhannya di Surga sesuai dengan janji Tuhan.
Bacaan Pertama menampilkan Menyuap Tuhan. Jikalau Tuhan itu bisa disuap maka pandangan Calvin yang menekankan Teologi dan Kapitalisme adalah sekutu, akan memiliki dunia dan Surga. Tuhan menerima suap kapitalis maka iman adalah milik kaum kapitalis. Orang yang memiliki kapital yang dapat mengembangkan imannya. Orang miskin dan papa akan berjalan tertatih-tatih mengembangkan imannya bahkan tidak berdaya untuk mengembangkan imannya. Tetapi Tuhan tidak menerima suap dengan cara apapun. Tuhan menutupi pintuNya bagi para penyuap. Tuhan membuka pintuNya hanya bagi orang yang tulus dan ikhlas datang kepadaNya, tanpa pamrih. Tuhan menghendaki agar semua orang menjadi kaya rohani dan kepada mereka itulah yang diterima di dalam rumahNya.
Bacaan Injil menampilkan pergulatan bathin para murid yang telah meninggalkan segala harta materi duniawi dan mengikuti Yesus sebagai pokok harta surgawi. Para murid telah mengutamakan Kerajaan Allah sebagai harta surgawi yang akan mengalami kepenuhan di Surga sesuai janjiNya. Janji itu adalah orang yang ikut Yesus tanpa kelekatan pada apapun yang bersifat duniawi akan mengalami kehidupan yang kekal.
Kita barangkali melihat pengalaman misi kita di kota dengan di desa atau pedalaman Kalimantan, dalam konteks etika katolik dan etika protestan ini, memberikan banyak inspirasi. Saya mempunyai Pengalaman pastoral di Salah Satu Paroki di Perbatasan Malaysia di Kalimantan Barat. Saya mengalami banyak kesulitan untuk melayani umat yang jauh dari pusat Paroki karena persoalan kapital, uang transportasi sungai yang begitu mahal. Umat di tempat yang jauh dari pusat paroki, dikunjungi sekali setahun. Pendalaman iman umat menuju mutu dan kuantitas pun berjalan tertatih-tatih. Sebaliknya di kota metropolitan, pembinaan iman menuju iman yang bermutu dapat dilaksanakan secara lancar karena ada banyak kemudahan baik tenaga, uang, maupun transportasi. Dalam konteks ini, pendapat yang mengatakan bahwa uang dan misi itu seperti dua sisi dari satu koin itu perlu dikembangkan dalam freim yang baik, benar, jujur, transparan. Dalam penggunaan keuangan kita menumbuhkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Yang menjadi pertanyan selanjutnya adalah : apakah kita yang di kota sudah solider dengan teman-teman kita yang bermisi di daerah pedalaman Kalimantan, sehingga ada keadilan penyebaran keuangan dan misi di kota dan desa?



Homili Selasa 28 Mei 2013
Sir 35 : 1 -12
Mzm 50
Mrk 10 : 28 - 31