Sabtu, April 05, 2008

Berziarah dari Rumah Adat Suku Monewalu Menuju Rumah Adat SVD

Saya bersuku Monewalu. Suku Monewalu memiliki rumah adat suku yang menyatukan semua anggota suku Monewalu. Selama saya sebagai anggota suku Monewalu, Rumah suku adalah pusat persatuan suku Monewalu pada umumnya. Pertemuan-pertemuan adat dilangsungkan dalam rumah adat suku Monewalu. Baik itu pertemuan syukuran maupun pertemuan perutusan atau perpisahan maupun adat-adat kematian.


Dalam perjalanan saya, pada suatu ketika saya mulai beralih dari rumah adat suku Monewalu memasuki rumah adat SVD. Pada waktu misa pertama saya pada hari selasa 5 Oktober 2004 di Telolo-Malate, saya waktu berarak dari rumah kelahiran menuju tenda tempat merayakan misa perdana, saya mengenakan pakaian adat, pakaian yang disiapkan oleh rumah suku Monewalu. Yang mendampingi saya dalam perarakan itu adalah presiden suku atau ketua suku dan seluruh keluarga dan anggota suku Monewalu. Persis di depan altar-setelah lagu perarakan dan sapaan adat perarakan, saya dihadapakan kepada ketua suku Monewalu. Ketua suku Monewalu atau presiden suku Monewalu melepaskan semua perlengakpan pakaian adat yang saya kenakan dalam perarakan itu dan saya diserahkan seutuhnya kepada Gereja dan Serikat Sabda Allah. Penyerahan itu diiringi dengan kata-kata adat suku Bunak. Ketua suku Monewalu yang menyerahkan saya kepada SVD dan Gereja itu disimbolkan dengan ketua suku Monewalu menanggalkan semua pakaian adat suku Monewalu yang saya kenakan. Lalu saya dihadapkan kepada para imam senior SVD yaitu Pater Gabriel Dasi, SVD dan Pater Lazarus Mau, SVD yang memakaikan Pakaian Liturgi resmi Gereja Katholik yaitu Kasula dan stola disusul Perayaan Peneyerahan diri saya oleh ketua Suku Monewalu kepada SVD dan Gereja, yang berpuncak dalam Perayaan Ekaristi Kudus pusat iman Kristiani. Perayaan Misa Perdana ini sungguh sangat menyentuh saya dalam setiap refleksi perjalanan panggilan saya. Perayaan ini selalu menguatkan saya dalam perziarahan panggilan imamat saya. Dikala saya terlalu memiliki keterikatan bathin yang kuat, saya mengambil waktu hening, melihat kembali perjalanan panggilan saya, misa perdana ini selalu memberi inspirasi dan sekaligus kekuatan bahwa saya telah diserahkan oleh Suku Monewalu kepada Gereja dan SVD waktu misa perdana itu maka saya tidak perlu hidup dikuasai oleh perasaan sesaat terlalu memikirkan keluarga dengan segala persoalannya. Biarkanlah mereka menghadapi semua persoalannya. Jangan terlalu masuk dalam hidup keluarga.


Penyerahan saya kepada SVD dan Gereja oleh Ketua Suku monewalu ini diispirasikan oleh adat istiadat suku bunak tentang adat paen Tol. Meninggalkan rumah adat suku Bunak menuju rumah adat SVD, Serikat Sabda Allah, Societas Verbi Divini ada kaitan erat dengan yang namanya adat Paen tol yang berlaku dalam Suku Bunak. Paen Tol berarti meninggalkan suku asal menuju suku penerima. Alasan paen tol adalah suku asal memiliki banyak anggota sedangkan suku penerima kekurangan anggota atau nyaris anggotanya punah karena perempuan suku tersebut tidak meneruskan keturunan. Atau suku penerima itu mayaritas anggotanya adalah laki-laki dan perempuannya sedikit. Hal harus dimengerti dalam sistem adat matrilineal suku bunak yang sedang berlaku sampai saat ini. Paen adalah satu cara tetap mempertahankan nama suku dan anggotanya. Paen ini terjadi atas kesepakatan adat pemberi anggota sukunya dan penerima anggota suku. Pemberi anggota suku menerima harga adat atas anggotanya yang telah diberikan kepada penerima. Suku penerima mengeluarkan berupa uang, emas, perak sesuai aturan adat yang berlaku berdasarkan kesepakatan secara adat antara kedua belah pihak yaitu pemberi perempuan dengan penerima perempuan. Menurut saya ini semacam transaksi adat anggota sukunya dari pemberi anggota sukunya kepada penerima anggota suku yang baru. Penerima anggota suku akan menerima pendatang baru dan memberi mereka posisi penting dalam seluruh urusan adat suku penerima. Ini adalah satu penghargaan yang besar dari pihak penerima perempuan kepada pendatang baru. Pendatang baru ini ditempatkan sebagai raja dan bahkan sebagai tuan tanah dalam suku yang menerima mereka. Pendatang baru ini sebagai anggota resmi suku yang menerimanya lewat adat Paen Tol ini. Pendatang ini mendapat posisi sebagai pemimpin suku atau lebih dikenal sebagai ketua suku. Ini menunjukkan bahwa anggota suku baru itu memiliki tanggungjawab yang penuh bagi suku yang menerima mereka.

Dipandang dari sudut pandang adat, adat Paen Tol ini diciptakan untuk membangun relasi kekeluargaan adat yang lebih luas. Relasi adat itu akan abadi dalam keberadaan dan perziarahan suku penerima dengan suku pemberi perempuan. Pendatang suku baru itu juga mendapat harta warisan suku untuk diolah dan dilestarikan bagi anggota suku dan keluarganya. Anggota suku yang baru dapat menjadi pemilik atas suku yang dimasukinya dan pemilik segala yang menjadi harta warisan suku itu. Kehadiran pendatang baru sebagai pemilik suku Baru itu mengikatnya sampai mati. Dia telah meninggalkan suku awalnya dan dia telah dibaptis masuk suku yang baru. Dia tinggal di suku yang menerima dia dan jika pada suatu waktu meninggal, dia pun akan dikuburkan di kuburan suku yang menerima dia. Meskipun demikian dalam relasi adat , pihak suku yang memberikan perempuannya kepada suku penerima, sangat dihargai oleh suku penerima perempuan. Suku Pemberi perempuan diistimewakan karena mereka itu yang menjadi pelestari keturunan suku penerima perempuan, lewat perempuan yang diberikan kepada suku penerima perempuan. Penghargaan ini akan terungakap dalam setiap adat yang terjadi pada dua belah pihak. Saya sebagai anak yang dilahirkan oleh adat dan budaya suku Bunak yang demikian, lalu berefleski adat paen tol itu dalam konteks perjalanan panggilan saya sebagai seorang imam misionaris religius SVD. Saya telah meninggalkan orang tua, kakak, adik, keluarga dekat-keluarga jauh, anggota suku, rumah suku asal kelahiran saya menuju Rumah adat SVD, bukan lewat adat paen tol tetapi dalam Kaul Kekal, sebagai jembatan yang memasukkan saya secara resmi ke dalam rumah adat SVD. Saya beralih dari rumah adat suku Bunak memasuki rumah adat SVD. Seperti dalam rumah adat suku Bunak, dalam rumah adat SVD juga memiliki yang namanya ketua rumah adat SVD dan aturan bersama hidup dalam rumah adat SVD, baik dalam level general, provinsi, rentorat. Secara fisik ada keterpisahan tetapi dalam relasi yang lebih dalam yaitu relasi Cinta Rohani, saya tetap membangun relasi yang bagus dengan keluarga dan anggota rumah adat suku yang melahirkan saya secara adat sehingga saya menjadi pribadi yang beradat. Relasi yang demikian saya ungkapkan lewat doa-doaku bagi anggota rumah adat sukuku, lewat komunikasi lemat e-mail, surat-menyurat, sms, telephone. Juga saya tetap menjalin komunikasi lewat kunjungan kepada orang tua dan keluarga besar suku Monewalu, sesuai dengan tata auran SVD, yaitu setiap tiga tahun menjalankan hukum ke-empat, mengunjungi orang tua dan anggota suku di rumah adat suku asal saya. ****