Perjalanan hisdupku sangat berfariasi. Selama menuntut ilmu di bangku sekolah dasar saya menempati dua sekolah dasar dengan bahasa ibu yang berbeda-bede. Di SDI Wehasan Kecamatan Lasiolat pada saat ini, berbahasa Tetum. Saya sendiri bukan orang Wehasan dan bukan berbahasa ibu Tetum. Saya berbahasa ibu Bunak atau Marae. Waktu itu tahun 1982 dan 1983. Teman-teman di daerah setempat melihat saya sebagai orang pendatang dan selalu menempatkan diri saya sebagai kelas dua. Saya memang merasakan itu dan saya merasa agak terasing dengan keberadan penempatn diri saya sebagai orang yang berada di kelas dua. Saya menerima itu walau agak sakit hati menghadapi keadaan itu. Namun saya tidak putus harapan. Saya dalam keadaan sosial menempatan diri saya berada pada kelas dua seperti itu saya membangun satu strategi yang lebih positif yaitu saya berjuang menempatkan diri pada yang pertama lewat jalur yang lain. Jalur lain itu adalah belajar keras dan tekun serta disiplin sehingga nilai selalu baik dan saya mendapat rengking yang pertama. Strategi ini mengurangi bahkan membangun rasa sungkan dalam diri sesama untuk terus-menerus menempatkan diri saya pada posisi kelas dua. Dalam bidang pendidikan formal, saya sangat diandalkan. Saat itu saya semakin termotivasi untuk menjadi yang pertama dalam bidang pendidikan. Caranya adalah rajin ke sekolah. Rajin mendengarkan penjelasan guru di kelas dan mencatatnya. Pendidikan yang maju mengurangi tekanan sosial yang cenderung primordial.
Pengalaman pendatang berhadapan dengan penduduk setempat terus menggema dalam perjalanan hidup. Pada tahun 1995 sampai saat ini saya bukan hidup di tanah kelahiran saya sendiri. Saya hidup sebagai pendatang di Pulau Jawa. Keberadaan saya di tempat lain sebagai pendatang, ketika berhadapan dengan penduduk setempat, selalau secara spontan atau secara terencana sadar, penduduk setempat kerap menempatkan pendatang sebagai orang berada pada orang lemah yang belum sempurna seperti pendidik setempat. Pada sebuah acara santai makan bersama di sebuah rumah makan sederhana, seorang penduduk setempat memandang dan menilai bahwa seorang pendatang dengan penampilan yang berbeda, sebagi orang yang kurang mampu dibndingkan dengan dirinya sebagai penduduk setempat. Mendengar itu saya tertawa dalam hati dan memmakai topeng menjawabinya dengan apa yang diingini penduduk setempat sebagai penilai agar tidak menimbulkan sebuah persoalan yang baru.
Saya merenung bahwa penilai itu pada dasarnya masih tertinggal satu langkah tentang pemahaman atau pola pikirnya. Saya menilai bahwa penilai itu orang yang sombong dan merasa superior dalam arti secata sosial sebagai tuan tanah atau penduduk setempat. Saya sendiri merasa bersyukur bahwa pada hakekatnya semua manusi berbeda penampilan lahiriah itu memiliki satu kemanusiaan yang sama. Setiap manusia diberi kemampuan untuk maju dalam waktu yang diberikan oleh sang pencipta. waktu sama dan kemampuan diberikan sang pencipta. Siapa yang rajin dan tekun memakai kemampuan dan mempertajam kemampuan dalam waktu itu pasti akan berkembang maju. Jadi bukan soal pendatang atau penduduk setempat yang menentukan orang itu maju atau mundur. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar