SAHABAT
: Palsu vs Sejati
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
Manusia adalah
makhluk multidimensional. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengenal
siapa sebetulnya manusia itu adalah “persahabatan manusia” yang dibangun dan
dimilikinya. Sahabat bagi manusia itu bermuka dua, dalam arti manusia bisa
menjadi sahabat palsu bagi sesamanya atau manusia bisa menjadi sahabat palsu
bagi sesamanya.
Sahabat palsu
adalah orang yang membangun relasi dengan sesama selama sesama memberikan
sumbangan atau kontribusi, artinya persahabatan yang dibangun di atas dasar “ada
apanya”. Sedangkan sahabat sejati adalah orang yang membangun relasi dengan sesama
dalam segala kondisi baik dalam suka maupun duka, baik dalam sehat maupun dalam
keadaan sakit, artinya persahabatan yang berlangsung berdasarkan “apa adanya”
tanpa pamrih tertentu.
Kitab Sirak
menampilkan sahabat yang sejati yaitu orang yang setia pada sesama dalam segala
suka maupum duka yang dialaminya dalam persahatan itu. Orang yang tidak meninggalkan
persahabatan dengan sesama ketika sahabat itu dalam keadaan serba kecukupan
ataupun dalam keadaan yang “kere”. Seorang sahabat sejati itu selalu hadir di
samping sahabatnya tanpa pamrih, tanpa ada apanya tetapi hadir apa adanya.
Seorang sahabat
sejati berkekuatan pada keterikatannya kepada Allah yang menjadi nyata dalam
diri Yesus sahabat sejati bagi kita. Yesus hadir dalam penyerahan seluruh
diriNya decara utuh bagi kita manusia untuk menebus kita. Puncak Yesus
menyerahkan diri bagi kita adalah menderita dan wafat di kayu salib sampai
mati, dimakamkan dan bangkit pada hari ketiga. Seorang sahabat sejati
menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya.
Perceraian
antara suami dengan isteri terjadi karena tidak ada persahabatan sejati dalam
kehidupan keluarga suami dengan isteri bersama anak-anaknya. Yang ada adalah
sahabat palsu. Suami atau isteri atau anak hadir di samping sesama dalam
keluarga selama kehadiran sesama memberikan keuntungan kepada dirinya. Ketika
diri harus memberikan apa yang dimililikinya bagi sesama, diri tidak rela dan
meninggalkan sesamanya mengalami aneka kesulitan dan persoalannya.
Perceraian
terjadi karena masing-masing mengutamakan egoisme. Masing-masing orang tidak
mengutamakan kita dalam keluarga. Masing-masing orang mengutamakan aku-isme dan
engkau-isme. Unsur ke-kita-an dilupakan. Ketika akuisme dan engkauisme adalah
utama maka disitulah perceraian lahir dan ada. Sebaliknya ketika masing-masing
orang di dalam kehidupan komunitas mengutamakan unsur “kita” unsur “kekitaan”
maka itulah kekuatan persatuan dalam komunitas keluarga.
Model sahabat
sejati yang mengutamakan prinsip kebersamaan atau unsur “ke-kita-an” dalam
komunitas keluarga adalah komunitas Allah Tritunggal Maha Kudus. Bapa dan
Putera dan Roh Kudus adalah SATU dalam kualitas bukan dalam kuantitas. Bapa,
Putera dan Roh Kudus adalah Satu Visi dan Misi yaitu untuk kebaikan, kebenaran,
keselamatan bersama.
Menjadi sahabat
sejati berarti : deritamu, deritaku, derita kita bersama. Menjadi sahabat
sejati berarti: sukacitaku, sukacitamu, sukacita kita bersama. Menjadi sahabat sejati berarti : cintaku,
cintamu, cinta kita bersama.
Homili Jumat 24
Mei 2013
Sir 17 : 1 – 15
Mzm 103
Mrk 10 : 13 -
16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar