*P. Benediktus Bere Mali, SVD*
Dalam kosa kata Suku Bunaq Aitoun, konflik disebut dengan satu kata SESU atau NA. Konflik antara dua belah pihak dikenal dengan istilah TEGE NA atau TEGE SESU O SARA.
Konflik antara sesama dalam suku Bunaq disebabkan oleh macam-macam hal. Konflik terjadi karena kata-kata yang dilontarkan dalam komunikasi menyakiti hati sesama. Kata-kata yang merendahkan sesama. Kata-kata yang diucapkan merendahkan sesama atau menganggap remeh sesama. Kadang rasa sakit hati itu langsung diungkapkan sehingga langsung tahu oleh sesama yang menyakiti maupun disakiti.
Tetapi ada yang tidak mengungkapkan rasa sakitnya secara terbuka atau bahkan secara diam-diam membangun konflik dengan pihak yang menyakiti, sehingga yang menyakiti hati sesama itu tidak menyadari bahwa sebetulnya dirinya yang menyakiti hati orang yang merasa disakiti.
Lalu kapan yang menyakiti hati itu akan sadar bahwa dirinya yang menyakiti sesama yang telah membangun konflik dengan dirinya?
Bisa saja sesama yang paling dekat atau teman curhat yang disakiti hatinya dapat menyampaikan kepada pihak yang menyakiti hatinya sehingga yang disebut sebagai pihak yang menyakiti sadar akan kekurangan dan kesalahannya.
Konflik yang didiamkan itu lama kelamaan akan terasa juga dalam relasi. Misalnya dalam perjumpaan, pihak yang tidak sadari bahwa dirinya yang menyakiti, menyapa pihak yang merasa disakiti, tetapi karena sakit hatinya terhadap pihak yang menyapa, tidak menanggapi sapaan persahabatan dan kekeluargaan.
Konflik-konflik itu keberadaannya tidak mengalami umur yang panjang. Ada saatnya untuk kembali rujuk antar pihak-pihak yang hidupnya konflik.
Dalam tata adat Suku Bunaq, ada saat yang tepat untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Saat itu adalah ketiga akan diadakan upacara adat yang melibatkan pihak-pihak yang konflik, dan mereka tidak dapat lari menjauh dari upacara adat itu.
Misalnya adat kematian salah seorang anggota suku yang sesuku dengan para pihak yang berkonflik, atau adat pernikahan seorang anggota suku yang sesuku dengan pihak-pihak yang sedang konflik, atau acara syukuran atas keberhasilan salah seorang anggota suku yang sesuku dengan pihak-pihak yang sedang konflik.
Itulah saat yang paling tepat untuk mengungkapkan akar masalah pokok mengapa terjadinya konflik. Masing-masing pribadi yang konflik, yang disakiti dan menyakiti mengungkapkan semua perasaannya kepada ketua suku dan disaksikan oleh semua anggota suku yang hadir dalam pertemuan adat tersebut. Kalau ketua suku juga terlibat dalam konflik maka ada pihak rumah suku "malu" yang dapat mendamaikan.
Setelah mengungkapkan semuanya itu, ketua suku mendamaikan kedua belah pihak yang sedang konflik untuk kembali hidup damai.
Video Ritus Rekonsliasi
Anggota Rumah Suku Monewalu Yang Konflik
Konflik merusak relasi dengan Aku/diri sendiri, Anda/Sesama, Alam Semesta, Arwah Leluhur, Allah/Supranatural.
Rekonsiliasi memuluskan relasi harmonis dengan Aku/diri sendiri, Anda/sesama, Arwah Leluhur, Allah/Supranatural.
Demikian Relasi Harmonis Lima(5) A
Penulis menghapus sound original video dan diisi dengan musik dan Lagu Mazmur 133 yang merangkum video rekonsiliasi ini dalam wajah
"SUNGGUH INDAH HIDUP RUKUN DAN DAMAI SEBAGAI SAUDARA"
Sumber video dari Bapak Marianus Luan
yang hadir saksikan Ritus Rekonsiliasi di
Asueman-Malate-Aitoun.
Caranya, siapkan segelas air putih jernih, lalu kedua pihak yang konflik dan bersedia damai, mendekati air itu lalu dengan ucapan mantra oleh pendamai, kepada roh supranatural, roh alam langit dan bumi, roh leluhur. Pendamai dalam hal ini ketua suku atau ketua rumah suku "malu"atau ketua adat, menyuruh kedua belah pihak yang telah konflik mencelupkan jari tangannya ke dalam air itu secara bersama-sama. Lalu mengoleskan bibir dengan air di jarinya karena bibir atau mulut yang mengekuarkan kata-kata yang menyakiti dan menciptakan konflik.
Saat itu pendamai menyebut para leluhur yang telah hidup bersatu dan berdamai dalam persekutuan di dunia seberang, agar merekalah yang menjadi saksi sekaligus meneguhkan perdamaian antara para pihak yang sedang konflik, lewat simbol mencelupkan tangan kedalam air putih yang telah disediakan dalam gelas itu. Lalu disusul dengan jabatan tangan, saling memeluk, mencium kedua pihak yang telah berdamai. Inilah ungkapan nyata bahwa sekarang mereka bukan lagi musuh tetapi menjadi teman, sahabat dalam relasi Suku.
Suasana damai, sekutu, bahagia seluruh anggota suku, menjadi satu suasana yang dirayakan dalam pesta adat yang pada hakekatnya menanamkan kembali nilai-nilai persekutuan dan perdamaian antara suku di dalam upacara adat yang sedang diselenggarakan. Adat Damai anggota rumah suku ini biasanya dilaksanakan pada adat kenduri bagi seanggota rumah suku yang meninggal. Fenomena ini mau menyatakan nomena bahwa konflik dimatikan dan dikubur sedangkan keharmonisan anggota dalam rumah suku dibangkitkan kembali.
Dengan keadaan yang demikian maka kebahagian dialami oleh seluruh anggota suku dalam perayaan adat yang sedang berlangsung karena semuanya dalam kebersamaan, kedamaian, dan kebahagiaan.
Mereka yang telah melewati adat ritus rekonsiliasi ini benar-benar mengalami betapa indahnya hidup rukun dan damai. DAME berarti DAMAI. Damai dengan Aku/diri, Anda/sesama, Alam, Arawah Leluhur, dan Allah/Supranatural. Inilah konsep Damai seutuhnya dalam Suku Bunaq Aitoun. Bahasa Agama Adat Aitoun tetap menjadi sebuah cara hidup memiliki tiga kriteria penting yaitu adanya konsep supranatural suci/Allah Maha Kudus yang gaib yang diterima oleh kelompok penganutnya, adanya buku suci/teks suci/teks lisan suci yang tampil dalam ceritera hidup manusia untuk menyatakan sang supranatural suci dan gaib dan adanya ritus gerak tubuh isyarat dalam merituskan sang supranatural/Allah sehingga sebuah sistem kepercayaan akan sang supranatural/Allah Kudus tetap eksis artinya ada bersama yang lain. ***
Daftar Pustaka
A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978
(2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
(2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar