Adat TAIS HOTA – KABA MALU AI dilaksanakan sebagai bagian adapt LAL HOON bagi orang yang telah meninggal, di samping acara inti kematian yaitu SI POR PAK sebagai puncak adat kematian, yaitu mengantar orang yang meninggal ke dalam persekutuan para leluhur yang mengalami kehidupan abadi di tempat lain, di dunia seberang setelah kehidupan di dunia ini.
ADAT TAIS HOTA – KABA MALU AI ini juga menunjukkan bahwa adanya relasi persekutuan dan persaudaraan serta kekeluargaan yang harmonis selama hidup di dunia ini. Oleh karena itu semua persoalan-konflik-ketersinggungan satu anggota dengan anggota lain sesuku yang termasuk hubungan MALU-AIBA’A harus didamaikan. Semua persoalan masa lalu harus diselesaikan bersama-dibicarakan dari hati kehati yang dipimpin oleh pemimpin suku yaitu ketua suku. Ketua suku memiliki tugas sentral dalam menyelesaikan segala urusan adat kematian yang berpuncak pada memasukkan seorang anggota suku ke dalam persekutuan para leluhur yang hidup bahagia abadi, dan lewat KABA MALU AI – TAIS HOTA menggalang kembali persatuan-persekutuan-persaudaraan-perdamaian anggota suku yang hidup dunia, khususnya membangun kembali relasi yang harmonis dari setiap suku yang menjadi asal-usul sebuah suku kecil (Baca juga adat SI POR PAK untuk mengenal lebih dalam hubungan anatara suku-suku yang menjadi asal-usul sebuah suku. Melalui adat Kaba-Malu Ai dan TAIS HOTA yang berpuncak pada SI GIWITAR PAK, ketua suku kembali menata hubungan keharmonisan antar suku-suku yang menjadi asal-usul sebuah suku kecil yang sedang berduka karena satu anggotanya meninggal. Dalam acara KABA-MALU AIBA'A ini relasi antara yang MALU dengan AIBA'A saling memberi sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan-tawar-menawar dalam proses ADAT TAIS HOTA dan KABA -MALU - AIBA'A tersebut. Nah di sini diamati bahwa kadang yang memberi TAIS meminta Uang yang lebih besar sehingga satu pihak yang dituntut untuk memberi uang sekian atau kain yang sekian, harus dituruti atau ditaati hanya karena mengutamakan atau menjunjung tinggi nilai-nilai relasi kekeluargaan dan keharmonisan antara MALU dengan AIBA'A yang sedang melaksanakan adat KABA-MALU AIBA'A. Mereka dari hati kecilnya menolak untuk melaksanakan tuntutan adat kalau dilihat dari sisi ekonomisnya, namun bukan itu yang utama, tetapi sekali lagi relasi keharmonisan ditempatkan di atas segalanya. Untuk mengetahui, apakah benar, dalam ADAT TAIS HOTA-KABA MALU AIBA'A sungguh-sungguh menjunjung tinggi nilai relasi keharmonisan dan tidak mengandung unsur ekonomis? Pertanyaan ini perl dijawab dan jawabannya hanya dapat ditemukan dalam suatu penelitian di lapangan, khususnya kehadiran peneliti di tengah-tengah pelaksanaan tata adat TAIS HOTA- KABA MALU AIBA'A yang terjadi dalam setiap suku kecil dalam suku Besar yaitu SUKU BUNAQ. Peristiwa adat kematian suku Bunaq terbuka bagi pata antropolog untuk mengadakan satu penelitian secara ilmiah. Penulis adalah melihat adat kematian yang demikian, dari sudut pandang antropologi Kristiani.
Kematian mendatangkan peristiwa-peristiwa yang mendasar dalam kehidupan adat suku Bangsa Bunaq.
Pertama, kematian membuat sebuah suku kecil berduka karena satu orang anggota suku telah tiada/meninggalkan mereka.
Kedua, kematian mengharuskan anggota suku-suku yang ada, yang menjadi asal-asul suku yang berduka, untuk menciptakan perdamaian – persatuan – persaudaraan. Setiap anggota suku yang sakit hati, konflik, bertengkar, tidak sepaham, harus didamaikan dan mau berdamai kembali. Sebelum berdamai, setiap pihak yang konflik mengungkapkan semua perasaan sakit hatinya terhadap lawan maupun di depan publik anggota suku yang sedang berkumpul. Semua itu didengarkan oleh ketua suku yang memimpin suku yang sedang berduka maupun ketua-ketua suku-suku kecil yang menjadi asal-usul suku yang sedang berduka, yang hubungan antar suku tersebut tidak dapat ditiadakan melainkan tetap dijaga dan dikokohkan agar tetap eksis. Setelah mendengarkan semua perasaan itu, ketua suku yang menjadi moderator memberikan peneguhan dan menyatakan bahwa setelah setiap pihak yang konflik mengungkapkan perasaannya, ketua suku memuji mereka, memberikan apresiasi kepada mereka atas keterbukaan dan kerendahan hati mereka untuk saling mendengarkan dan mau berdamai. Lalu ketua suku mengajak mereka untuk mendekati air putih segelas yang disiapkan untuk mencelupkan tangan mereka ke dalam air putih jernih itu, membersihkan semua soal yang membuat mereka konflik, sebagai simbol mereka telah bersih, suci dan kini hidup harmonis kembali, bertobat dan diakhiri dengan jabatan tangan dan berciuman bahkan sampai meneteskan airmata pertobatan dalam jabatan tangan tersebut.
Perdamaian dan keharmonisan anggota suku yang masih hidup dipandang sebagai satu kegembiraan bagi yang meninggal dunia karena dengan perdamaian yang telah dicapai, dia yang meninggal tanpa beban pergi/dimasukkan ke dalam persekutuan kehidupan kekal para leluhur yang telah meninggal, lewat acara puncak kematian yaitu SI GIWITAR PAK atau SI POR PAK sebagai adat pengesahan bahwa dia yang meninggal telah masuk bersekutu dengan komunitas para leluhur di dunia lain, yang bahagia dan penuh dengan sukacita abadi.
Ketiga, dia yang meninggal dan masuk dalam persukutuan para leluhur di dunia bahagia para leluhur, membawa berita perdamaian kepada para leluhur, yaitu menyampaikan khabar perdamaian – kerukunan – persatuan dan persaudaraan antar anggota sesuku di dunia.
Ketiga, dia yang meninggal dan masuk dalam persukutuan para leluhur di dunia bahagia para leluhur, membawa berita perdamaian kepada para leluhur, yaitu menyampaikan khabar perdamaian – kerukunan – persatuan dan persaudaraan antar anggota sesuku di dunia.
Keempat, perdamain suku di dunia ini menunjukkan persektuan Gereja yang sedang berziarah. Persekutuan para leluhur di dunia seberang, dunia lain, menunjukkan Persekutuan Gereja Jaya di Surga, yang anggota-anggotanya adalah para malaikat dan par kudus yang melayani Tuhan dan mendoakan kita manusia agar hidup seturut kehendak Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar