*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
Suku Astalin di Asueman adalah satu suku kecil yang tersebar di wailayah suku Bunaq sebagai suku Besar. Bapak Gabriel Mali adalah seorang Suku Astalin, Bapa Gabriel Mali ini adalah "LAL GOMO" yaitu seorang yang tahu dan pandai berbicara tentang adat yang ada dan berlaku dalam di Lingkungan Asueman - Paroki Sto. Theodorus Weluli - Keuskupan Atambua. Bapak Gabriel Mali adalah Guru Agama Senior di Paroki St. Theodorus Weluli. Bapak Gabriel Mali ini menjabat Guru Agama Lingkungan Asueman sejak tahun 1960-an sampai hari ini. Pengabdiannya kepada Gereja lewat Katekese, Pimpin Ibadat Sabda Setiap Hari Minggu di Kapela Lingkungan Asueman sangat mengagumkan. Kesetiaan, pengorbanan dan komitmennya pada Misi Yesus, Misi Gereja sudah sangat teruji. Bahkan pada suatu kali, Bapak Gabriel Mali ini dimarahi oleh Pastor Paroki St. Theodorus Weluli karena kelalaiannya persiapan perkawinan di lingkungan Asueman, bahkan sang Pastor Gembala Baik itu dikuasai oleh emosi manusiawi menampar Bapak Gabriel Mali, guru Agama, yang telah bekerja mengabdi Gereja dan Tuhan secara tulus, berkorban tanpa upah. Bapak Gabriel Mali menerima tamparan sang pastor paroki yang mengkhianati perannya sebagai Gembala Baik yang seharusnya bertindak tanpa kekerasan. Bapak Gabriel Mali menyerahkan tamparan itu kepada Tuhan Sang Gembala Sejati. TuhanPasti tahu dan membalas sesuai keadilan dan kebenaranNya. Upah Bapak Gabriel Mali pasti diperhitungkan oleh Sang Gembala Yang Baik. Berikut ini penulis menguraikan secara deteil Suku Bapak Gabriel Mali yaitu Suku Astalin ("Aiba'a) dengan para suku "Malu" nya. Informasi ini diterima dari wawancara langsung via telephone HP Simpati Pede antara Penulis dengan Bapak Gabriel Mali yang tinggal di Rumah Induk Penulis Malate - Telolo - Lingkungan Asueman - Paroki Sto. Theodorus Weluli. Wawancara langsung antara penulis yang tinggal di Soverdi Sto Arnoldus Janssen, Kamar No 12, Jalan Polisis Istimewa Surabaya, denga kode Pos 60265- Jawa Timur - Indonesia dengan Bapak Gabriel Mali itu berlangsung dari pukul 20.30 - 22.30 Waktu Surabaya. Informasi selengkapnya dapat diikuti dalam penulisan berikut. Penulisan ini berguna sekali bagi penulis dan juga generasi muda suku Bunaq, khususnya suku Astalin yang menyebar ke seluruh dunia, agar dapat mengenal siapa dirinya lewat publikasi ringan ini yang meneguhkan atau menggugat identas dirinya, tergantung meresponnya dari sisi dispiln ilmu apa yang digunakan sebagai teropong untuk mendeteksi tata adat tradisional warisan para leluhur yang masih hidup dan dihidupi oleh Suku Astalis di Dususn Asueman-Desa Aitoun-Kecamatan Rai Hat-Kabupaten Dati II Belu.
Bapak Gabriel Mali sebagai anggota Suku Astalin di Asueman-Desa Aitoun- Kecamatan Rai Hat - Kabupaten Dati II Belu. Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (duabelas ) suku "Malu". Dua Belas Suku "Malu" bagi Suku Astalin sebagai "Aiba'a" itu dapat disebutkan sebagai berikut :
1.Suku Leb
Suku Leb bertempat tinggal di sebuah tempat yang namanya LUA GUJU. Suku Leb ini adalah suku asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali;
2. Suku Lelabere Bese;
3. Suku Lelabere Aisal Bul;
4. Suku Lelabere Kaluk;
5. Suku Lelabere Delo Bul;
6. Suku Hokiik "Deu Masak";
7. Suku Hokiik "Deo Gol";
8. Suku Lakora bertempat tinggal di Magil;
9. Suku Sul Por di Magil;
10.Suku Loka Bere di Magil;
11.Suku Nikaran Deu Masak di Maumutin
12. Suku Nikaran Deu Gol di Maumutin
Sebuah adat kematian akan dilaksananakan oleh Suku Astalin jika semua suku Malu yang jumlahnya 12 Suku dia atas itu hadir. Seorang anggota suku Astalin harus datang langsung beritahu sekaligus mengundang secara adat untuk hadir menyaksikan Adat Kematian Seorang Suku Astalin. Pemberitahuan itu tidak boleh lewat "SMS" atau lewat Telephone via HP, atau lewat surat. Presiden Suku Astalin menyuruh seorang anggota suku Astalin langsung datang ke masing-masing presiden Suku "Malu" itu memberitahukan secara jelas bahwa akan segera melaksanakan adat kematian suku Astalin. Undangan model ini sebagai satu apresiasi Presiden Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Para Presiden Suku "Malu". Undangan speri ini satu penghargaan yang mulia dari pihak "Aiba'a' kepada "Malu". Tetapi kalau dari segi praktisnya, memang undangan seperti ini sangat tidak efektif dan tidak efisien. Dewasa ini bisa efektif dan efisien, para presiden "Malu" itu langsung diundang oleh Presiden Suku "Aiba'a" leweat telehone (HP) atau "SMS" terutama Para Presiden suku yang tinggal di tempat yang jauh dari tempat pelaksanaan adat kematian oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Entah kapan undangan itu lewat HP, kita tunggu saja waktu yang tepat. Kalau para presiden suku mulai menakar perayaam adat dari segi efektif dan efisien, pasti akan mengundang lewat HP saja.
Undangan para Presiden Suku "Malu" atau yang mewakili Setiap Suku "Malu" itu bertujuan agar mereka semua hadir dalam pelaksanaan adat kematian itu. Kalau satu suku "Malu" tidak hadir maka adat kematian belum dapat dimulai. Menunggu semua wakil suku "Malu" hadir, baru segera dimulai tata adat kematian. Upacara adat akan berbelit-belit atau dulur-ulur kalau para suku "Malu" tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang karena ada persoalan tersinggung karena soal plitik, soal konflik yang lain antara Suku "Malu" yang tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang dengan anggota suku Astalin sebagai suku "Aiba'a". Maka perlu selesaikan masalah konflik itu dengan sejumlah uang yang harus dibawah oleh suku Astalin sebagai suku "Aiba'a" kepada Suku "Malu", yang bersangkutan. Suku "Malu" yang tidak mau datang karena tersinggung atau konflik dengan Suku Astalin sebagai suku "Aibaa'a" itu disebut dalam bahasa Bunaq, dengan istilah "Malu Aiba'a Gege Robon". Uang yang dibawah oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Suku "Malu" itu sebagai uang rujuk - rukun kembali antara suku "Malu" yang bersangkutan sengan suku Astalin sebagai "Aiba'a". Setelah rukun baru Suku "Malu"itu memenuhi undangan itu datang menghadiri, menyaksikan perayaan adat kematian. Masalah akan lebih rumit kalau anggota suku "Malu" itu banyak dan juga semuanya pada konflik dengan Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Semua konflik itu diselesaikan baru melaksanakan adat kematian. Soal-soal itu biasanya sederhana, pada umumnya karena Para Suku " Malu" merasa dilecehkan oleh kata-kata Suku "Aiba'a". Semakin banyak konflik semakin tidak efektif dan tidak efisien melaksanakan adat kematian suku Astalin. Perayaan adat kematian ini dalam istilah bahasa Bunaq dikenal dengan sebutan "LAL HOON".
Semua konflik antara "Aiba'a" dengan setiap suku "Malu" sudah diselesaikan secara damai, dan semua suku "Malu sudah hadir di sekitar perayaan adat kematian, barulah dilaksanakan adat Kematian atau " LAL HOON". Proses adat "LAL HO'ON" atau adar kematian sama persis yang sudah diuraiakan dalam Adat "Lal Ho'on" pada Suku Monewalu. Hanya Pelaksana Adat yaitu suku Astalin dengan susunan anggota suku "Malu"nya yang berbeda-beda. Perayaan adat Kematian suku Astalin sebagai berikut :
1. "Tel Taba"
Suku Malu yang berhak "Pertama kali menancapkan tajak pada tanah tempat kuburan yang akan digali, bagi seorang anggota suku Astalin yang meninggal adalah Suku Leb sebagai suku yang menjadi asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali. Selama Suku Leb ini ada dan tidak berhalangan hadir, Suku Leb ini yang berhak menancapkan tajak untuk pertama kali di tanah tempat untuk kuburan bagi seorang anggota suku yang telah meninggal. Suku Leb mendapat stipendium adat untuk penancapan pertama itu. Stipendium itu adalah SI BESAL atau SI GEWEEL dan sejumlah uang. Kalau Suku Leb berhalangan hadir dengan alasan yang masuk akal, maka Presiden Suku Leb ini memberi mandat kepada suku "Malu" yang lain untuk menancapkan tajak pertama di atas tanah tempat kuburan itu. Pemberian mandat berarti pemberian stipendium yaitu SI BESAL atau SI GEEL kepada "Malu" yang menerima mandat itu. Sesudah itu penggalian lanjutnya oleh Suku "Malu" yang lain yaitu Suku Lelabere Delo Bul. Mereka juga mendapat stipendium yaitu Sejumlah daging dan sejumlah uang. Untuk "Tel Taba" ini ada seekor Babi yang dikorbankan.
2. "Gon Tolo"
Para "Malu" akan memindahkan tangan seorang anggota suku Astalin yang meninggal di atas dadanya. Pemindahan ini punya stipendiumnya tersendiri. Jumlahnya sekitar Rp.50.000 sampai Rp.100.000. Tergantung permintaan "Malu" yang memindahkan tangan suku Astalin sebagai "Aiba'a" yang telah meninggal. Untuk ini satu ekor babi dibunuh.
3. "Gawak"
Gawak berarti mengarak Peti Jenazah ke tempat pemakaman. Orang memikul pada dasarnya malu dengan para pemuda yang bertenaga. Peti Jenazah itu ditutup dengan kain. Kain itu akan diperebutkan oleh para suku "Malu". Prinsip perebuatan itu adalah malu siapa yang cepat dan gesit akan mendapat dan memiliki kain penutup peti itu. Perebuatan biasanya sebelum tiba di Kuburan. Setelah upacara penguburan, anggota suku "Malu" dan "Aiba'a" kembali ke rumah duka.
4. "Il Hesik"
"Il Hesik" artinya para "malu" memercikkan air ke atas para "aiba'a" yang berduka. "Il hesik" ini dilaksanakan di depan rumah duku. Waktu pulang dari kuburan usai penguburan, para suku "Malu" telah mendahului "para aiba'a" dan berdiri di depan pintu rumah duka, dan telah siap dengan air berkat secara adat ala para suku "malu". Caranya, para anggota suku "Aiba'a" yang pulang dari penguburan itu berdiri berbaris di depan pintu rumah duka, direciki dengan air suci ala adat itu kemudian baru mereka masuk ke dalam rumah duka itu. Perecikan itu bermakna menyucikan hati, pikiran duka keluarga "aiba,a" dan menguatkan serta meneguhkan mereka agar tidak dikuasai oleh rasa duka yang berkepanjangan. Mereka menyerahkan kepergian anggota suku yang meninggal dengan tulus tanpa suatu beban berat tertentu.
5. "En Gawa Gini"
Sesudah suku "Malu" memerciki suku "Aiba'a" kini mereka konsentrasi bekerja di dapur untuk mempersiapkan makan-minum melayani para suku "Malu" yang ada. Suku "Malu" sebagai tamu agung yang harus dilayani oleh suku "aiba'a". Para suku "Aiba'a" memberi pelayanan yang istimewa dan sempurna kepada para suku "Malu" yang ditempat sebagai "Raja" di mata Suku "Aiba'a". Makanan harus enak, dengan lauk pauk dan sayur-sayuran yang istimewa. Kalau makan kurang enak, para "malu" biasanya memberi komentar atau penilaian yang agak miring kepada para "aiba'a" yang melayani mereka.
6. "Lasik Wa"
Para "aiba'a" pun makan bersama setelah melayani para "malu". Dalam makan bersama, presiden suku "Aiba'a" mengumumkan kepada "Mane Pou" dan "Deu Gomo", untuk mengumpulkan uang. Jumlah uang yang akan dikumpulkan sebesar Rp.20.000/orang atau Rp.50.000/orang, berdasarkan kesepakan dan keputusan presiden suku. Uang yang dikumpulkan itu disebut "Lasik Wa". Uang itu untuk apa? Untuk beli babi untuk adat "Si Por Pak". Adat "si por pak" yaitu adat memasukkan jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal kedalam Persekutuan para leluhur di rumah adat suku leluhur di dunia seberang. Rumah adat para leluhur itu disebut "MOT". Memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam rumah adat Suku Leluhur itu disebut "MOT TAMA". Para "Malu" hidup damai dengan "aiba'a" dan hadir dalam seluruh adat kematian itu secara lengkap sempurna maka jiwa suku anggota "aiba'a" layak masuk dalam rumah adat suku leluhur atau "Mot Tama". Sebalinya kalau salah satu malu tidak setuju atau tidak hadir dalam adat kematain makan adat kematian itu tidak dapat dilaksanakan, dibatalkan, ditunda maka jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal itu masih berkeliaran di luar rumah adat suku leluhur, dia belum masuk dalam rumah adat leluhur atau belum "MOT TAMA" yang secara harafiah diartikan belum masuk rumah adat para leluhur yang berbahagia abadi di dalam "MOT".
Uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu juga akan digunakan untuk beli beras, beli sayur-sayuran, beli minuman, kopi, gula. Uang itu juga digunakan untuk uang stipendium bagi para "Malu" yang akan melaksanakan "Kaba" dan "Tais Hota". Uang itu digunakan untuk membeli siri pinang yang akan digunakan untuk "Kaba" "aiba'a" oleh "malu". Uang itu digunakan untuk membeli jumlah "taka giral" sejumlah banyaknya suku "malu". Dalam Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (dua belas) suku "Malu" maka harus disiapkan 12 (dua belas "taka giral").
Biasanya uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu sangat banyak. Setelah adat kematian selesai, biasanya masih ada uang sisa atau saldonya. Pada zaman dulu, pengumpulan uang pada satu tangan tunggal yaitu presiden suku tanpa sekretaris yang mencatat nama jumlah uang yang dikumpulkan oleh para anggota suku "aiba'a" baik "mane pou" dan "deu gomo", maka sisa uang itu akan masuk dalam kantong saku presiden suku dan menjadi milik pribadi presiden suku atau ketua suku "aiba'a". Pada dewasa ini, hal semacam itu telah dikendalikan oleh seorang yang sepakat diangkat oleh anggota suku "aiba'a" untuk menjadi sekretaris yang bertugas menulis nama para pengumpul uang, pengeluaran dengan semua bukti / Nota belanja, dan pada akhir adat kematian itu dibacakan atau dilaporkan oleh sekretaris dengan suara lantang kepada publik suku "aiba'a" sehinnga anggota suku tidak mencurigai atau berprasangka buruk terhadap Presiden suk atau ketua suku, tetapi semakin percaya kepada kejujuran presiden suku, pelayanan dan pengorbanannya dalam memimpin sebuah adat kematian.
7. "Si Giwitar Pak"
Adat "Si Giwitar Pak" ini dipimpin oleh "LAL GOMO". Dia adalah pribadi yang tahu adat asal-usul suku Astalin sebagai "aiba'a". Dia menjelaskan sejarah suku "aiba'a" dengan jujur, dan benar. Kesalahn dalam hal ini akan mendapat hukuman atau kutukan dari para leluhur. Dia juga menyampaikan doa atau mantra-mantra bagi jiwa orang yang meninggal. Doa-doa itu mengarak masuk jiwa anggota suku yang meninggal masuk ke dalam rumah adat suku leluhr atau "MOT TAMA". Setiap "Malu" mendapat satu ikat daging dengan sejumlah uang berkisar Rp. 50.000 sampai Rp.100.000 kepada setiap "malu". Dalam hal ini semakin besar daging dan jumlah uang tentu saja para malu yang menerima bagiannya sangat gembira. Ini semacam gaji atau stipendium mereka. Dalam suku astalin yang mempunyai 12 "malu" maka daging yang dibagi dan uang yang merupakan bagian "malu" sejumlah 12 ikat daginh dengan sejumlah uang yang telh disetujui dan diberikan. Setipa malu setelah doa "LAL GOMO" itu mengangkat bagiannya masing-masing. Biasanya setiap bagian itu diserhkan oleh presiden suku "aiba'a" kepada setiap "malu". "Lal Gomo" mendapat stipendiumnya tersendiri. Di sini tampak bahwa pihak "aiba'a" sudah berduka, harus melaksanakan kewajiban memberi uang dan daging kepada setiap wakil pihak suku "malu". Dalam hal ini yang mendapat pemasukan besar adalah pihak suku "malu" sedangkan yang wajib membayar uang kepada "Malu" adalah suku Astalin sebagau asal-usul suku "aiba'a" (Suku Astalin).
8. "Tais Hota"
Setelah pelaksanaan adat di atas meja altar "Si Por Pak" kini beralih ke meja altar adat "Tais Hota". Proses adat di atas altar adat "Tais Hota" adalah para "malu" membawa kain adatnya di atas altar adat "Tais Hota". Para "malu" menawarkan "TAIS" atau kain adat kepada para "aiba'a". Para "aiba'a" harus membeli setelah tawar menawar itu. Tawar-menawar tapi tidak dibeli oleh "aiba'a" maka pihak "malu" akan tersinggung. Itu akan tersimpan dan diungkapkan kembali pada adat "Tais Hota" pada kematian berikut. Rujukannya dengan cara, pihak "aiba'a" yang telah menimbulkan rasa tersinggung adat, memberi seujmlah uang kepada pihak "malu" tersebut. Pihak "aiba'a" yang tidak mau membeli kain adat itu biasanya alasannya masuk akal secara ekonomis. Kain adat yang kurang meyakinkan harus ditawar dengan harga mahal misalnya Rp.50.000 atau Rp.100.000,- biasanya pihak "aiba'a" menolak untuk membeli. Tapi penolakan itu melahirkan beban adat kematian pada kematian berikut. Baik-buruk kain adat yang ditawarkan di atas "meja altara adat Tais Hota" ini, pihak "aiba'a" demi sebuah relasi adat, harus membeli dengan harga yang telah ditentukan oleh pihak "malu". Di sini apa yang terjadi? Dalam hal demikian, adat memang sangat tidak ekonomis hanya demi gengsi belaka. Ada pihak yang menerima keuntungan besar yaitu "malu". Ada pihak yang dirugikan yaitu suku Astalin sebagai "Aiba'a". Ada prinsip ekonomi berlaku bagi para suku "malu" yaitu mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu perayaan di atas meja altar adat "tais hota". Ada unsur bisnis bermain dalam adat kematian yang dimainkan oleh para suku "malu". Sedang bagi para suku "Aiba'a" siap berkorban melayani kebutuhan atau keinginan para "malu" demi sebuah nilai yaitu relasi harmonis, rukun, damai, mengalah dalam relasi dengan para suku "malu".
Barangkali, adat "Tais Hota" ini bisa ditiadakan karena sangat merugikan suku yang berduka dalam hal ini suku Astalin sebagai sebuah suku yang berperan sebagai "aiba'a" dalam altar meja adat "Tais Hota".
9. "Kaba"
Dari meja altar adat "Tais Hota", kini beralih ke meja altar adat "Kaba" yang dibuat oleh pihak "malu" kepada "aiba'a". Ada aturan main di atas meja altar adat "Kaba". Di depan setiap wakil 12 Suku "malu" disediakan masing-masing "Taka Giral". Di dalam setiap "Taka Giral" yang disediakan di depan 12 Suku "Malu" itu, diisi Siri-Pinang-Uang Sitipendium sekitar Rp. 200.000 / "Taka Giral" kepada setiap "malu". Siri-pinang -uang dalam "Taka Giral" itu didoakan secara bersama-sama oleh para "malu". Setelah itu setiap malu mengambil siri-pinang yang ada dalam "Taka Giral" itu lalu makan-kunya.
Lalu setiap anggota "aiba'a" dipanggil secara berurutan untuk menerima "Kaba" dari para "malu. Pertama di depan Malu suku Leb sebagai asal asli suku Astalisn. Wakil Suku Leb sebagai "Malu" yang memberi "Kaba" yaitu berkat leluhur lewat diri suku "malu" yaitu suku Leb yang mengalirkan berkat leluhur itu kepada suku Astalin sebagai suku "aiba'a". Caranya, suku Leb itu mengambil siri-pinang yang telah dikunyah dan merah dari mulutnya lalu dengan itu membuat tanda salib di dahi anggota suku astalin yang menerima "Kaba" atau lewat itu menerima berkat leluhur. Kemudian dari Suku Leb beralih ke suku-suku yang lain sebagai "malu". Suku-suku "malu" yang lain ini memberi berkat leleluhur tidak dengan ambil ampas merah sirih pinang dari mulutnya, tetapi suku "aiba'a" mengulurkan ujung kedua tangannya kepada setiap suku "malu" itu sehinnga suku-suku "malu" itu mengalirkan berkat dan rahmat dari para leluhur kepada suku "aba'a" itu dengan meniupkan kedua ujung tangannya. Setiap wakil suku yang duduk di altas adat "Kaba" ini meniupkan ujung tangan suku "aiba'a" sampai selesai. Usai perayaan di atas meja altar adat "Kaba" maka usailah sudah seluruh rangkaian adat kematian atau adat "Lal Ho'on.
10. Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu
Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.
Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.
Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.
Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.
Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.
Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.
Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.
Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.
Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.
Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.
Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.
Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.
Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti dan terbukti bahwa: "ketika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."***
Bapak Gabriel Mali sebagai anggota Suku Astalin di Asueman-Desa Aitoun- Kecamatan Rai Hat - Kabupaten Dati II Belu. Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (duabelas ) suku "Malu". Dua Belas Suku "Malu" bagi Suku Astalin sebagai "Aiba'a" itu dapat disebutkan sebagai berikut :
1.Suku Leb
Suku Leb bertempat tinggal di sebuah tempat yang namanya LUA GUJU. Suku Leb ini adalah suku asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali;
2. Suku Lelabere Bese;
3. Suku Lelabere Aisal Bul;
4. Suku Lelabere Kaluk;
5. Suku Lelabere Delo Bul;
6. Suku Hokiik "Deu Masak";
7. Suku Hokiik "Deo Gol";
8. Suku Lakora bertempat tinggal di Magil;
9. Suku Sul Por di Magil;
10.Suku Loka Bere di Magil;
11.Suku Nikaran Deu Masak di Maumutin
12. Suku Nikaran Deu Gol di Maumutin
Sebuah adat kematian akan dilaksananakan oleh Suku Astalin jika semua suku Malu yang jumlahnya 12 Suku dia atas itu hadir. Seorang anggota suku Astalin harus datang langsung beritahu sekaligus mengundang secara adat untuk hadir menyaksikan Adat Kematian Seorang Suku Astalin. Pemberitahuan itu tidak boleh lewat "SMS" atau lewat Telephone via HP, atau lewat surat. Presiden Suku Astalin menyuruh seorang anggota suku Astalin langsung datang ke masing-masing presiden Suku "Malu" itu memberitahukan secara jelas bahwa akan segera melaksanakan adat kematian suku Astalin. Undangan model ini sebagai satu apresiasi Presiden Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Para Presiden Suku "Malu". Undangan speri ini satu penghargaan yang mulia dari pihak "Aiba'a' kepada "Malu". Tetapi kalau dari segi praktisnya, memang undangan seperti ini sangat tidak efektif dan tidak efisien. Dewasa ini bisa efektif dan efisien, para presiden "Malu" itu langsung diundang oleh Presiden Suku "Aiba'a" leweat telehone (HP) atau "SMS" terutama Para Presiden suku yang tinggal di tempat yang jauh dari tempat pelaksanaan adat kematian oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Entah kapan undangan itu lewat HP, kita tunggu saja waktu yang tepat. Kalau para presiden suku mulai menakar perayaam adat dari segi efektif dan efisien, pasti akan mengundang lewat HP saja.
Undangan para Presiden Suku "Malu" atau yang mewakili Setiap Suku "Malu" itu bertujuan agar mereka semua hadir dalam pelaksanaan adat kematian itu. Kalau satu suku "Malu" tidak hadir maka adat kematian belum dapat dimulai. Menunggu semua wakil suku "Malu" hadir, baru segera dimulai tata adat kematian. Upacara adat akan berbelit-belit atau dulur-ulur kalau para suku "Malu" tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang karena ada persoalan tersinggung karena soal plitik, soal konflik yang lain antara Suku "Malu" yang tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang dengan anggota suku Astalin sebagai suku "Aiba'a". Maka perlu selesaikan masalah konflik itu dengan sejumlah uang yang harus dibawah oleh suku Astalin sebagai suku "Aiba'a" kepada Suku "Malu", yang bersangkutan. Suku "Malu" yang tidak mau datang karena tersinggung atau konflik dengan Suku Astalin sebagai suku "Aibaa'a" itu disebut dalam bahasa Bunaq, dengan istilah "Malu Aiba'a Gege Robon". Uang yang dibawah oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Suku "Malu" itu sebagai uang rujuk - rukun kembali antara suku "Malu" yang bersangkutan sengan suku Astalin sebagai "Aiba'a". Setelah rukun baru Suku "Malu"itu memenuhi undangan itu datang menghadiri, menyaksikan perayaan adat kematian. Masalah akan lebih rumit kalau anggota suku "Malu" itu banyak dan juga semuanya pada konflik dengan Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Semua konflik itu diselesaikan baru melaksanakan adat kematian. Soal-soal itu biasanya sederhana, pada umumnya karena Para Suku " Malu" merasa dilecehkan oleh kata-kata Suku "Aiba'a". Semakin banyak konflik semakin tidak efektif dan tidak efisien melaksanakan adat kematian suku Astalin. Perayaan adat kematian ini dalam istilah bahasa Bunaq dikenal dengan sebutan "LAL HOON".
Semua konflik antara "Aiba'a" dengan setiap suku "Malu" sudah diselesaikan secara damai, dan semua suku "Malu sudah hadir di sekitar perayaan adat kematian, barulah dilaksanakan adat Kematian atau " LAL HOON". Proses adat "LAL HO'ON" atau adar kematian sama persis yang sudah diuraiakan dalam Adat "Lal Ho'on" pada Suku Monewalu. Hanya Pelaksana Adat yaitu suku Astalin dengan susunan anggota suku "Malu"nya yang berbeda-beda. Perayaan adat Kematian suku Astalin sebagai berikut :
1. "Tel Taba"
Suku Malu yang berhak "Pertama kali menancapkan tajak pada tanah tempat kuburan yang akan digali, bagi seorang anggota suku Astalin yang meninggal adalah Suku Leb sebagai suku yang menjadi asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali. Selama Suku Leb ini ada dan tidak berhalangan hadir, Suku Leb ini yang berhak menancapkan tajak untuk pertama kali di tanah tempat untuk kuburan bagi seorang anggota suku yang telah meninggal. Suku Leb mendapat stipendium adat untuk penancapan pertama itu. Stipendium itu adalah SI BESAL atau SI GEWEEL dan sejumlah uang. Kalau Suku Leb berhalangan hadir dengan alasan yang masuk akal, maka Presiden Suku Leb ini memberi mandat kepada suku "Malu" yang lain untuk menancapkan tajak pertama di atas tanah tempat kuburan itu. Pemberian mandat berarti pemberian stipendium yaitu SI BESAL atau SI GEEL kepada "Malu" yang menerima mandat itu. Sesudah itu penggalian lanjutnya oleh Suku "Malu" yang lain yaitu Suku Lelabere Delo Bul. Mereka juga mendapat stipendium yaitu Sejumlah daging dan sejumlah uang. Untuk "Tel Taba" ini ada seekor Babi yang dikorbankan.
2. "Gon Tolo"
Para "Malu" akan memindahkan tangan seorang anggota suku Astalin yang meninggal di atas dadanya. Pemindahan ini punya stipendiumnya tersendiri. Jumlahnya sekitar Rp.50.000 sampai Rp.100.000. Tergantung permintaan "Malu" yang memindahkan tangan suku Astalin sebagai "Aiba'a" yang telah meninggal. Untuk ini satu ekor babi dibunuh.
3. "Gawak"
Gawak berarti mengarak Peti Jenazah ke tempat pemakaman. Orang memikul pada dasarnya malu dengan para pemuda yang bertenaga. Peti Jenazah itu ditutup dengan kain. Kain itu akan diperebutkan oleh para suku "Malu". Prinsip perebuatan itu adalah malu siapa yang cepat dan gesit akan mendapat dan memiliki kain penutup peti itu. Perebuatan biasanya sebelum tiba di Kuburan. Setelah upacara penguburan, anggota suku "Malu" dan "Aiba'a" kembali ke rumah duka.
4. "Il Hesik"
"Il Hesik" artinya para "malu" memercikkan air ke atas para "aiba'a" yang berduka. "Il hesik" ini dilaksanakan di depan rumah duku. Waktu pulang dari kuburan usai penguburan, para suku "Malu" telah mendahului "para aiba'a" dan berdiri di depan pintu rumah duka, dan telah siap dengan air berkat secara adat ala para suku "malu". Caranya, para anggota suku "Aiba'a" yang pulang dari penguburan itu berdiri berbaris di depan pintu rumah duka, direciki dengan air suci ala adat itu kemudian baru mereka masuk ke dalam rumah duka itu. Perecikan itu bermakna menyucikan hati, pikiran duka keluarga "aiba,a" dan menguatkan serta meneguhkan mereka agar tidak dikuasai oleh rasa duka yang berkepanjangan. Mereka menyerahkan kepergian anggota suku yang meninggal dengan tulus tanpa suatu beban berat tertentu.
5. "En Gawa Gini"
Sesudah suku "Malu" memerciki suku "Aiba'a" kini mereka konsentrasi bekerja di dapur untuk mempersiapkan makan-minum melayani para suku "Malu" yang ada. Suku "Malu" sebagai tamu agung yang harus dilayani oleh suku "aiba'a". Para suku "Aiba'a" memberi pelayanan yang istimewa dan sempurna kepada para suku "Malu" yang ditempat sebagai "Raja" di mata Suku "Aiba'a". Makanan harus enak, dengan lauk pauk dan sayur-sayuran yang istimewa. Kalau makan kurang enak, para "malu" biasanya memberi komentar atau penilaian yang agak miring kepada para "aiba'a" yang melayani mereka.
6. "Lasik Wa"
Para "aiba'a" pun makan bersama setelah melayani para "malu". Dalam makan bersama, presiden suku "Aiba'a" mengumumkan kepada "Mane Pou" dan "Deu Gomo", untuk mengumpulkan uang. Jumlah uang yang akan dikumpulkan sebesar Rp.20.000/orang atau Rp.50.000/orang, berdasarkan kesepakan dan keputusan presiden suku. Uang yang dikumpulkan itu disebut "Lasik Wa". Uang itu untuk apa? Untuk beli babi untuk adat "Si Por Pak". Adat "si por pak" yaitu adat memasukkan jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal kedalam Persekutuan para leluhur di rumah adat suku leluhur di dunia seberang. Rumah adat para leluhur itu disebut "MOT". Memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam rumah adat Suku Leluhur itu disebut "MOT TAMA". Para "Malu" hidup damai dengan "aiba'a" dan hadir dalam seluruh adat kematian itu secara lengkap sempurna maka jiwa suku anggota "aiba'a" layak masuk dalam rumah adat suku leluhur atau "Mot Tama". Sebalinya kalau salah satu malu tidak setuju atau tidak hadir dalam adat kematain makan adat kematian itu tidak dapat dilaksanakan, dibatalkan, ditunda maka jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal itu masih berkeliaran di luar rumah adat suku leluhur, dia belum masuk dalam rumah adat leluhur atau belum "MOT TAMA" yang secara harafiah diartikan belum masuk rumah adat para leluhur yang berbahagia abadi di dalam "MOT".
Uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu juga akan digunakan untuk beli beras, beli sayur-sayuran, beli minuman, kopi, gula. Uang itu juga digunakan untuk uang stipendium bagi para "Malu" yang akan melaksanakan "Kaba" dan "Tais Hota". Uang itu digunakan untuk membeli siri pinang yang akan digunakan untuk "Kaba" "aiba'a" oleh "malu". Uang itu digunakan untuk membeli jumlah "taka giral" sejumlah banyaknya suku "malu". Dalam Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (dua belas) suku "Malu" maka harus disiapkan 12 (dua belas "taka giral").
Biasanya uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu sangat banyak. Setelah adat kematian selesai, biasanya masih ada uang sisa atau saldonya. Pada zaman dulu, pengumpulan uang pada satu tangan tunggal yaitu presiden suku tanpa sekretaris yang mencatat nama jumlah uang yang dikumpulkan oleh para anggota suku "aiba'a" baik "mane pou" dan "deu gomo", maka sisa uang itu akan masuk dalam kantong saku presiden suku dan menjadi milik pribadi presiden suku atau ketua suku "aiba'a". Pada dewasa ini, hal semacam itu telah dikendalikan oleh seorang yang sepakat diangkat oleh anggota suku "aiba'a" untuk menjadi sekretaris yang bertugas menulis nama para pengumpul uang, pengeluaran dengan semua bukti / Nota belanja, dan pada akhir adat kematian itu dibacakan atau dilaporkan oleh sekretaris dengan suara lantang kepada publik suku "aiba'a" sehinnga anggota suku tidak mencurigai atau berprasangka buruk terhadap Presiden suk atau ketua suku, tetapi semakin percaya kepada kejujuran presiden suku, pelayanan dan pengorbanannya dalam memimpin sebuah adat kematian.
7. "Si Giwitar Pak"
Adat "Si Giwitar Pak" ini dipimpin oleh "LAL GOMO". Dia adalah pribadi yang tahu adat asal-usul suku Astalin sebagai "aiba'a". Dia menjelaskan sejarah suku "aiba'a" dengan jujur, dan benar. Kesalahn dalam hal ini akan mendapat hukuman atau kutukan dari para leluhur. Dia juga menyampaikan doa atau mantra-mantra bagi jiwa orang yang meninggal. Doa-doa itu mengarak masuk jiwa anggota suku yang meninggal masuk ke dalam rumah adat suku leluhr atau "MOT TAMA". Setiap "Malu" mendapat satu ikat daging dengan sejumlah uang berkisar Rp. 50.000 sampai Rp.100.000 kepada setiap "malu". Dalam hal ini semakin besar daging dan jumlah uang tentu saja para malu yang menerima bagiannya sangat gembira. Ini semacam gaji atau stipendium mereka. Dalam suku astalin yang mempunyai 12 "malu" maka daging yang dibagi dan uang yang merupakan bagian "malu" sejumlah 12 ikat daginh dengan sejumlah uang yang telh disetujui dan diberikan. Setipa malu setelah doa "LAL GOMO" itu mengangkat bagiannya masing-masing. Biasanya setiap bagian itu diserhkan oleh presiden suku "aiba'a" kepada setiap "malu". "Lal Gomo" mendapat stipendiumnya tersendiri. Di sini tampak bahwa pihak "aiba'a" sudah berduka, harus melaksanakan kewajiban memberi uang dan daging kepada setiap wakil pihak suku "malu". Dalam hal ini yang mendapat pemasukan besar adalah pihak suku "malu" sedangkan yang wajib membayar uang kepada "Malu" adalah suku Astalin sebagau asal-usul suku "aiba'a" (Suku Astalin).
8. "Tais Hota"
Setelah pelaksanaan adat di atas meja altar "Si Por Pak" kini beralih ke meja altar adat "Tais Hota". Proses adat di atas altar adat "Tais Hota" adalah para "malu" membawa kain adatnya di atas altar adat "Tais Hota". Para "malu" menawarkan "TAIS" atau kain adat kepada para "aiba'a". Para "aiba'a" harus membeli setelah tawar menawar itu. Tawar-menawar tapi tidak dibeli oleh "aiba'a" maka pihak "malu" akan tersinggung. Itu akan tersimpan dan diungkapkan kembali pada adat "Tais Hota" pada kematian berikut. Rujukannya dengan cara, pihak "aiba'a" yang telah menimbulkan rasa tersinggung adat, memberi seujmlah uang kepada pihak "malu" tersebut. Pihak "aiba'a" yang tidak mau membeli kain adat itu biasanya alasannya masuk akal secara ekonomis. Kain adat yang kurang meyakinkan harus ditawar dengan harga mahal misalnya Rp.50.000 atau Rp.100.000,- biasanya pihak "aiba'a" menolak untuk membeli. Tapi penolakan itu melahirkan beban adat kematian pada kematian berikut. Baik-buruk kain adat yang ditawarkan di atas "meja altara adat Tais Hota" ini, pihak "aiba'a" demi sebuah relasi adat, harus membeli dengan harga yang telah ditentukan oleh pihak "malu". Di sini apa yang terjadi? Dalam hal demikian, adat memang sangat tidak ekonomis hanya demi gengsi belaka. Ada pihak yang menerima keuntungan besar yaitu "malu". Ada pihak yang dirugikan yaitu suku Astalin sebagai "Aiba'a". Ada prinsip ekonomi berlaku bagi para suku "malu" yaitu mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu perayaan di atas meja altar adat "tais hota". Ada unsur bisnis bermain dalam adat kematian yang dimainkan oleh para suku "malu". Sedang bagi para suku "Aiba'a" siap berkorban melayani kebutuhan atau keinginan para "malu" demi sebuah nilai yaitu relasi harmonis, rukun, damai, mengalah dalam relasi dengan para suku "malu".
Barangkali, adat "Tais Hota" ini bisa ditiadakan karena sangat merugikan suku yang berduka dalam hal ini suku Astalin sebagai sebuah suku yang berperan sebagai "aiba'a" dalam altar meja adat "Tais Hota".
9. "Kaba"
Dari meja altar adat "Tais Hota", kini beralih ke meja altar adat "Kaba" yang dibuat oleh pihak "malu" kepada "aiba'a". Ada aturan main di atas meja altar adat "Kaba". Di depan setiap wakil 12 Suku "malu" disediakan masing-masing "Taka Giral". Di dalam setiap "Taka Giral" yang disediakan di depan 12 Suku "Malu" itu, diisi Siri-Pinang-Uang Sitipendium sekitar Rp. 200.000 / "Taka Giral" kepada setiap "malu". Siri-pinang -uang dalam "Taka Giral" itu didoakan secara bersama-sama oleh para "malu". Setelah itu setiap malu mengambil siri-pinang yang ada dalam "Taka Giral" itu lalu makan-kunya.
Lalu setiap anggota "aiba'a" dipanggil secara berurutan untuk menerima "Kaba" dari para "malu. Pertama di depan Malu suku Leb sebagai asal asli suku Astalisn. Wakil Suku Leb sebagai "Malu" yang memberi "Kaba" yaitu berkat leluhur lewat diri suku "malu" yaitu suku Leb yang mengalirkan berkat leluhur itu kepada suku Astalin sebagai suku "aiba'a". Caranya, suku Leb itu mengambil siri-pinang yang telah dikunyah dan merah dari mulutnya lalu dengan itu membuat tanda salib di dahi anggota suku astalin yang menerima "Kaba" atau lewat itu menerima berkat leluhur. Kemudian dari Suku Leb beralih ke suku-suku yang lain sebagai "malu". Suku-suku "malu" yang lain ini memberi berkat leleluhur tidak dengan ambil ampas merah sirih pinang dari mulutnya, tetapi suku "aiba'a" mengulurkan ujung kedua tangannya kepada setiap suku "malu" itu sehinnga suku-suku "malu" itu mengalirkan berkat dan rahmat dari para leluhur kepada suku "aba'a" itu dengan meniupkan kedua ujung tangannya. Setiap wakil suku yang duduk di altas adat "Kaba" ini meniupkan ujung tangan suku "aiba'a" sampai selesai. Usai perayaan di atas meja altar adat "Kaba" maka usailah sudah seluruh rangkaian adat kematian atau adat "Lal Ho'on.
10. Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu
Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.
Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.
Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.
Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.
Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.
Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.
Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.
Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.
Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.
Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.
Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.
Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.
Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti dan terbukti bahwa: "ketika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."***