Minggu, April 27, 2008

Sekitar Fondasi Suku Bangsa Bunak

Tiada dua manusia yang sama persis sifatnya yang ditemukan di atas planet bumi ini. Setiap manusia memiliki keunikannya yang khas. Keunikan manusia itu terbentuk juga oleh kebudayaan tempat dia dilahirkan dan tempat dia hidup.


Manusia suku Bunak memiliki keunikannya tersendiri. Keunikan manusia suku Bunak dapat didalami lewat pendekatan budaya yang melekat di dalam kehidupannya. Berdasarkan pandangan seperti itu, penulis mencoba memperkenalkan identitas manusia suku Bunak melalui budaya yang melekat erat dalam diri manusia suku Bunak itu. Identitas suku Bunak menyentuh fondasi yang mendasari hidupnya. Menyentuh fondasi berarti menyentuh hakekat hidup yang dapat disebut dengan kata filsafat hidup manusia suku Bunak.


Filsafat manusia suku Bunak dibangun di atas kedua fondasi yang kokoh tidak terlepaspisahkan satu dengan yang lainnya yaitu pola pemahaman tentang wujud tertinggi suku Bunak dan ritus-ritus adat dalam kebersamaan yang membuat hidup wujud tertinggi dalam seluruh kehidupan suku Bunak. Wujud tertinggi yang ada dalam pola pikir suku Bunak adalah “Hot Essen”. Nama “Hot Essen” yang diyakini ini sebagai sumber segala sesuatu yang baik, benar dan indah. Kebaikan dan kebenaran serta keindahan sebagai sifat khas “Hot Essen” itu terwahyukan kepada manusia dalam diri para penguasa adat suku Bunak yang disebut “Lal Gomo”. “Lal Gomo” ini menterjemahkan kebaikan, kebenaran dan keindahan “Hot Essen” itu dalam ritus-ritus adat dalam suku Bunak sebagai jalan untuk mendapatkan berkat dari penguasa abadi yaitu “Hot Essen”. Ritus-ritus adat itu dilaksanakan dalam kebersamaan bukan secara personal. Itu menunjukkan bahwa semakin mendalam relasi dengan “Hot Essen” dalam ritus-ritus adat itu maka semakin mendalam juga relasi sosial yang dibangun di atas humanitas yang kokoh. Demikian juga sebaliknya. Itulah hakekat suku Bunak. Itulah filsafat Bunak. Itulah identitas Bunak yang diperkenalkan dalam seluruh tulisan ini. Tulisan ini terbuka bagi dialog menuju pemurnian filsafat Bunak yang sejati.


Proses memperkenalkan identitas manusia suku Bunak ini melalui syering pengalaman hidup penulis di dalam budaya manusia suku Bunak. Sebagai suatu syering pengalaman hidup, tulisan ini sangat terbuka bagi publik untuk dikonsumsi dan mengambil sari-sari yang bermakna bagi konsumen sesuai kebutuhan dan harapan pembaca. Publikasi ini terbuka untuk dikritik dan disempurnakan. Tulisan ini tetap terbuka untuk evaluasi nilai-nilai adat suku yang tertuang dalam penulisan ini menuju satu nilai universal yang dirindukan semua manusia melintas batas. Dalam hal ini identitas yang ideal itu selalu terbuka untuk sebuah dialog yang mengkritisi untuk menyempurnakan. Kesempurnaan yang diharapkan publik itulah menurut penulis identitas manusia yang sesungguhnya. Selamat menikmati.*****

Surabaya 04 April 2008,
Pada HUTku ke-35

Beny Mali, SVD

Senin, April 07, 2008

Nilai Kemanusiaan Belis Gadis Suku Bunaq Aitoun


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Ada banyak teman yang berpacaran dengan gadis-gadis suku bangsa Bunaq. Teman-teman itu ada yang berasal dari suku Bunaq, ada juga yang berasal dari luar suku Bunaq. Beberapa teman itu terpaksa mengakhiri pacaran dengan gadis suku Bunaq karena belis gadis suku bangsa Bunaq mahal. Mereka takut tidak mampu membayar belis/mahar gadis suku Bunaq.
Laki-laki suku Bunaq yang pergi menuntut ilmu di luar suku Bunaq, di luar pulau Timor yang dikenal dengan nama besar sebagai pulau cendana itu, misalnya laki-laki suku Bunaq yang menuntut ilmu di Pulau Jawa, khususnya di Jakarta, di Surabaya, di Semarang dan di Jogja, atau misalnya laki-laki suku Bunaq yang meninggalkan pulau cendana ke Pulau Dewata-Bali atau pulau Jawa, enggan kembali ke ibu pertiwi Suku Bangsa Bunaq, untuk menikahi seorang gadis suku bangsa Bunaq karena belis gadis suku Bunaq lebih mahal, di bandingkan dengan gadis-gadis yang mereka jumpai di Pulau Jawa dan pulau dewata.
Pada suatu kali, seorang pemuda suku Bunaq di Jakarta, yang mengadu nasib di Ibu Kota Negara-Jakarta mengatakan demikian :
" Saya telah memutuskan masuk ke dalam PSIJ. PSIJ singkatan dari Persatuan Semua Isteri Jawa. Istilah ini terkenal di telinga putera Pulau Cendana yang mempunyai isteri yang berasal dari Pulau Jawa. Maksudku, setelah sekian tahun lamanya bekerja di Jakarta, saya tidak ingin kembali ke kampung halaman, tetapi saya memutuskan menikahi seorang gadis yang berasal dari pulau Jawa. Kembali ke ibu pertiwi suku Bunaq, dan nikah dengan seorang gadis suku Bunaq, belisnya mahal, setelah menikah dengan gadis yang berasal dari suku Bunak, diikat oleh berbagai adat yang tidak efektif dan efisien dalam pelaksanaannya, bukan menjadi mimpi saya. Nikah dengan gadis Jawa khan, belis tidak mahal. Bahkan tidak ada belis seperti suku Bunag". Komentar itu terekam di telinga penulis, ketika penulis berada di Jakarta, pada tanggal 15 Januari 2006 di Soverdi St.Yosef Matraman, tepat perayaan St. Arnoldus Janssen, pendiri Serikat Sabda Allah. Komentar-komentar yang bernada sama, juga keluar dari para mahasiswa asal pulau Cendana di Jogjakarta, di Surabaya dan Malang kota bunga. Kesan penulis bahwa komentar-komentar itu terungkap secara spontan, tetapi bisa juga kata-kata itu sudah dipertimbangkan secara matang sebelumnya. Yang jelas bahwa ungkapan-ungakapan atau komentar- komentar demikian, sangat dipengaruhi oleh adat belis gadis suku Bunaq yang menurut para komentator itu belis suku Bunak itu sangat mahal, bila dilihat dari segi ekonomisnya saja.Belis gadis perawan suku Bunaq mahal. Memang pada umumnya demikian. Harga atau belis atau mahar gadis suku Bunaq dewasa ini semuanya telah diuangkan atau dirupiahkan. Pada umumnya, belis gadis perawan suku Bunaq berkisar 8 sampai 15 Juta rupiah. Mahalnya belis gadis perawan berbangsa Suku Bunaq seperti itu, bukan suatu keputusan sepihak. Tetapi semahal apapun, belis gadis perawan suku Bunaq itu, diawali suatu dialog adat antara presiden suku atau ketua suku pihak bakal calon suami dengan pihak presiden suku atau ketua suku serta keluarga bakal calon isteri. Semacam ada tawar-menawar harga belis gadis perawan suku bunaq itu, sampai kedua belah pihak setuju pada penentuan final harga belis gadis perawan suku bangsa Bunaq yang akan hidup sebagai suami-isteri. Dialog itu akhirnya tidak mencapai kata seia-sekata, maka pihak laki-laki akan membatalkan rencananya untuk menikahi gadis yang bakal menjadi isterinya itu.Kalau kata seia-sekata antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan tentang besarnya jumlah belis gadis perawan suku Bunaq, maka bagaimana proses pembayaran belis gadis perawan suku Bunaq itu? Siapa-siapa yang membayar belis gadis perawan itu? Belis gadis perawan suku Bunaq, khususnya di Desa Aitoun-Kecamatan Rai Hat, akan dibayar oleh seluruh anggota sesuku pemuda yang akan menikahi gadis tersebut. Bahkan, belis itu dibayar juga oleh teman-teman pemuda yang akan menikah, karena soal relasi, sahabat dekat, teman sekerja, walaupun bukan sesuku dengan pemuda yang akan menikah gadis itu. Bahkan juga yang ikut membayar belis gadis yang akan dinikahi pemuda itu, termasuk suku-suku yang menjadi asal-usul suku pemuda yang menikahi gadis itu. Proses pembayaran belis gadis perawan suku Bunaq demikian. Misalnya kalau, total belis gadis perawan suku Bunaq yang telah disetujui setelah tawar menawar antara presiden suku atau ketua suku laki-laki dengan presiden suku atau ketua suku gadis perawan adalah 15 Juta Rupiah. Presiden suku atau ketua suku dari pihak Laki-laki akan membagikan beban pembayaran atau tanggungan bayar belis itu kepada seluruh anggota suku berdasarkan hubungan kedekatan. Pemuda yang akan menikah gadis itu, tanggung satu Juta rupiah. Setiap saudara-saudari kandung pemuda itu, tanggung lima ratus ribu rupiah. Mereka yang berstatus Om dalam suku pemuda itu, tanggung duaratus lima puluh ribu tiap pribadi yang bersatus Om. Dan seterusnya, presiden suku atau ketua suku laki-laki akan mengatur sedemikian rupa, agar setiap anggota sesuku pemuda itu, mengumpulkan uang sebesar seharga belis gadis perawan yang telah disepakati dan diterima. Presiden menghitung seluruh anggota sukunya agar pengumpulan uang oleh anggota suku itu mencapai harga belis gadis yang telah disepakati.Melihat harga belis gadis perawan suku Bunaq yang demikian, proses pengumpulan uang yang demikian, maka sebetulnya, belis gadis perawan suku Bunaq tidak mahal. Karena proses pengumpulan itu, mencerminkan kekompakan anggota suku. Kerja sama anggota suku. Dalam sebuah perkawinan intern, perempuan suku Bunaq dengan laki-laki suku Bunaq sesungguhnya belis itu tidak mahal.Kecuali, pemuda dari luar suku Bunaq yang hendak menikahi gadis perawan suku Bunaq, mengikuti adat belis suku Bunaq, maka keluarga pemuda yang berasal dari luar suku Bunak akan merasa sangat berat dalam membayar belis gadis yang bersuku bunak yang akan menjadi isteri pemuda dari luar suku Bunak tersebut. Prinsipnya pemuda dari luar suku Bunaq yang telah jatuh cinta pada gadis perawan suku bunaq, yang telah dikuasai oleh cinta dan sulit melepaskan gadis perawan suku Bunaq, pasti melewati proses dialog-tawar menawar belis antara keluarga pemuda dengan keluarga gadis. Dialog itu akan berakhir dengan kesepakatan bersama kedua belah pihak dalam menentukan besarnya belis gadis perawan yang akan dinikahi pemuda dari luar suku Bunaq. Proses pembayarannya pun bisa dibicarakan dan disepakati, misalnya pembayaran belis secara bertahap, atau bayar sekali di awal pernikahan mereka. Semuanya bukan suatu paksaan, tetapi suatu kesepakatan bersama.
Penulis melihat belis gadis perawan suku Bunaq bukan sebagai suatu beban. Penulis melihat itu sebagai satu tanggungjawab pemuda yang akan menikah. Pemuda yang akan menikah, telah dinilai mampu untuk menjadi bapa atau ayah sekaligus sebagai suami yang dapat bertanggungjawab terhadap keluarga, adat dalam suku buna, dan relasi sosial dalam masyarakat suku Bunaq. Selain itu proses pembayaran belis gadis perawan suku Bunaq yang melibatkan seluruh anggota sesuku pemuda yang akan menikah, menunjukkan satu ikatan tanggungjawab moral si pemuda yang akan menikah, bahwa pemuda itu harus mencintai dan setia pada isterinya dalam suka maupun duka. Pemuda yang akan menjadi suami itu harus mempertahankan kehidupan keluarganya itu dengan penuh tanggungjawab terhadap seluruh anggota sesuku. Pemuda itu dinasihati presiden suku atau ketua suku, bahwa dia harus menjalankan tugas dan tanggungjawabnya kepada isteri dan anak-anaknya, sampai mati. Dia tidak boleh cerai dan meninggalkan anak-anaknya. Anggota suku pemuda itu hanya sekali membayar belis gadis yang telah dinikahinya. Kalau pemuda itu cerai dan hendak menikahi gadis yang lain, itu urusan pribadi, dan bahkan perkawinan itu tidak direstui oleh presiden suku atau ketua suku dengan seluruh anggota sukunya.
Suami isteri harus setia satu sama lain sampai mati salah satunya. Mereka harus menjadi orang tua yang bertanggungjawab satu terhadap yang lain, dan terhadap anak-anak, serta setia pada tata aturan adat suku isteri maupun suku suami. Menjadi orang tua dalam suku Bunaq, secara adat, memiliki keterikatan oleh tanggungjawab dan kewajiban dalam kehidupan suku Bangsa Bunaq.****



Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..



Minggu, April 06, 2008

Tahap-Tahap Rekonsiliasi Suku Bunaq Aitoun


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Suku-suku kecil yang menyebar di suku Bunak kerapkali mengalami konflik baik secara intern maupun secara ekstern dengan suku-suku lain. Suku-suku lain itu adalah suku Sabu-Rote misalnya. Mahasiswa suku Bunak yang ada di Kupang atau di Jawa atau di Pulau dewata, mempunyai peluang besar konflik dengan suku-suku lain karena berbagai soal sederhana sampai soal yang paling komplit.Kalau toh generasi muda sekarang ini konflik maka ada jalan penyelesaiannya. Konflik model apapun antara Suku-Suku Kecil di dalam suku Bunak maupun konflik antar suku Bunak pada umumnya dengan suku Sabu - Rote ada penyelesaiannya melalui sebuah yaitu pendekatan Budaya. Ada tiga pendekatan dari segi budaya untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Pendekatan penyelesaian ini diperoleh lewat wawancara langsung dengan pastor sulung dari Suku Bunak, Pater Yustus Asa, SVD yang kini sebagai Vikjen keuskupan Atambua. Wawancara informal dengan Pater Yustus Asa, SVD berlangsung dari pukul 20.30-21.30 WIB, hari Sabtu 2 Februari 2008, di Ruang Rekreasi Wisma Santo Arnoldus Janssen SVD Surabaya. Ada tiga pendekatan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dan dialami dalam kehidupan suku Bunak.

Pertama, dalam bahasa adat suku Bunak dan sejarah suku Bunak dan Sabu ada istilah "HULO LEB", artinya ada sebuah sumpah adat yang telah dibuat antara kakak beradik di daerah Suku Bunak. Kakak beradik itu mengadakan sumpah dengan minum darah bersama. Sumpah yang diikat dengan meminum darah yang diambil darah kedua kakak dan adik itu diadakan sebelum mengadakan perpisahan antara kakak dan adik tersebut. Sumpah perpisahan itu bermakna bahwa meskipun kedua kakak-beradik itu berpisah dan akan berkembang biak di tempat yang berbeda, mereka akan tetap hidup rukun-guyub-bersatu dan damai. Diceriterakan bahwa kakak itu setelah diikat oleh sumpah itu tetap tinggal di Suku Bunak sedang adiknya itu pergi ke tempat yang namanya Sabu-Rote dan berkembang di sana. Keduanya berkembangbiak sampai hari ini di Suku Bunak maupun di Sabu-Rote. Ciri-ciri yang menyatukan kedua suku tersebut adalah ada nama-nama manusia suku Bunak dan suku Sabu - Rote yang mirip dan bahkan ada yang sama. Misalnya ada nama Mali di Sabu dan Rote juga ada di Suku Bunak. Ada nama Bere di Sabu-Rote dan Bunak.

Menurut sejarah suku bunak, sumpah itu tidak boleh dilanggar. Pihak yang melanggar akan termakan oleh darahnya sendiri yang telah dia minum dalam sumpah adat tersebut. Pihak yang melanggar sumpah itu akan dikutuk yaitu muntah darah, berak darah, dan penyakit yang lainnya. Pola pendekatan ini sangat ampuh dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi dalam kehidupan bersama antara suku Bunak dengan suku Sabu Rote, baik di Kupang, ibukota propinsi NTT maupun di Luar pulau cendana.

Kedua, Konflik yang terjadi antara suku-suku kecil yang menyebar di dalam suku Bangsa Bunak, secara khusus di Dusun Asueman, Kedesaan Aitoun, kecamatan Rai Hat, Keuskupan Atambua. Konflik itu terjadi disebabkan oleh banyak hal. Mulai dari hal yang sederhana sampai dengan hal yang kompleks-rumit. Konflik - konflik yang terjadi dan ada itu diselesaikan dengan pendekatan adat-budaya yaitu "Hubungan Malu-Ai", yaitu hubungan antara suku-suku pemberi perempuan dengan suku-suku penerima perempuan. Relasi hubungan "Malu-Ai" ini menjadi senjata yang ampuh untuk menyelesaikan berbagai konflik yang ada di suku Bunak. Semua suku - suku Kecil yang ada dalam suku Bunak adalah suku-suku yang terikat erat oleh hubungan "Malu-Ai" ini. Hubungan "malu-ai" ini abadi dan hubungan ini menjadi "roh" yang menggerakkan semua relasi adat yang ada dalam suku Bunak. Hubungan “Malu-Ai” ini seperti jaring-jaring yang saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan yang menyatukan semua suku-suku kecil yang tersebar di dalam suku Bunak dewasa ini dan seterusnya. Semua urusan adat pasti ada aturan mainnya yang digariskan oleh tua adat berdasarkan "Hubungan Malu -Ai " ini. Hubungan "malu-ai" ini rusak maka semua urusan adat tidak akan berjalan atau dilaksanakan. Hubungan "Malu-Ai" ini baik maka semua urusan adat dan urusan rohani misalnya misa syukur tahbisan dan sejenisnya, dan juga urusan pemerintahan akan dapat berjalan dengan baik. Konflik antara suku-suku kecil yang ada dalam suku Bunak pasti akan diselesaikan berdasarkan relasi hubungan "Malu-Ai" yang digunakan oleh para "lal gomo" atau "makoan" bersama para pendamai lainnya dalam hal ini presiden suku atau ketua suku.
Ketiga, Semakin banyak penduduk, semakin padat penduduk, semakin besar peluang untuk menciptakan konflik yang beraneka ragam dan lebih luas cakupan konflik. Semakin terbuka suku Bunak karena transportasi lancar dan komunikasi lancar lewat sms dan telephone via HP, konflik bisa dengan mudah dialami karena ada pihak-pihak luar yang menjadi provokator. Konflik yang diprovokasi dari pihak luar dapat merusak keharmonisan suku Bunak. Pihak luar itu bisa dari aparat keamanan yang memprovokasi rakyat sederhana untuk mencari lahan pekerjaan, atau golongan lain yang membayar masyarakat sederhana untuk membangkitkan konflik demi kepentingannya tercapai. Konflik seperti ini di hadapi atau diselesaikan dengan "Hubunga Dasak Raq" yaitu hubungan antara rakyat dengan pemerintah. Maka konflik lebih kompleks itu dapat diselesaikan berdasarkan hukum sipil yang berlaku bagi setiap warga negara dan umat beriman. Hukum sipil dan hukum religius dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik yang lebih rumit dan kompleks luas cakupannya. Dalam hal ini, pemimpin pemerintahan dan pemimpin religius setempat sangat besar pengaruhnya dalam menyelesaikan konflik yang ada dan terjadi karena provokator pihak luar. Uskup dan para imam serta biarawan-biarawati sebagai pembawa kedamaian bagi masyarakat suku Bangsa bunak yang hidup dalam konflik karena hasutan para provokator dari golongan luar suku Bunak. Penyelesaian dengan menggunakan "Hubungan Dasak Raq" ini menjadi alat jitu bagi penyelesaian konflik-konflik besar yang terjadi di dalam suku Bunak.****

Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..


Sabtu, April 05, 2008

Berziarah dari Rumah Adat Suku Monewalu Menuju Rumah Adat SVD

Saya bersuku Monewalu. Suku Monewalu memiliki rumah adat suku yang menyatukan semua anggota suku Monewalu. Selama saya sebagai anggota suku Monewalu, Rumah suku adalah pusat persatuan suku Monewalu pada umumnya. Pertemuan-pertemuan adat dilangsungkan dalam rumah adat suku Monewalu. Baik itu pertemuan syukuran maupun pertemuan perutusan atau perpisahan maupun adat-adat kematian.


Dalam perjalanan saya, pada suatu ketika saya mulai beralih dari rumah adat suku Monewalu memasuki rumah adat SVD. Pada waktu misa pertama saya pada hari selasa 5 Oktober 2004 di Telolo-Malate, saya waktu berarak dari rumah kelahiran menuju tenda tempat merayakan misa perdana, saya mengenakan pakaian adat, pakaian yang disiapkan oleh rumah suku Monewalu. Yang mendampingi saya dalam perarakan itu adalah presiden suku atau ketua suku dan seluruh keluarga dan anggota suku Monewalu. Persis di depan altar-setelah lagu perarakan dan sapaan adat perarakan, saya dihadapakan kepada ketua suku Monewalu. Ketua suku Monewalu atau presiden suku Monewalu melepaskan semua perlengakpan pakaian adat yang saya kenakan dalam perarakan itu dan saya diserahkan seutuhnya kepada Gereja dan Serikat Sabda Allah. Penyerahan itu diiringi dengan kata-kata adat suku Bunak. Ketua suku Monewalu yang menyerahkan saya kepada SVD dan Gereja itu disimbolkan dengan ketua suku Monewalu menanggalkan semua pakaian adat suku Monewalu yang saya kenakan. Lalu saya dihadapkan kepada para imam senior SVD yaitu Pater Gabriel Dasi, SVD dan Pater Lazarus Mau, SVD yang memakaikan Pakaian Liturgi resmi Gereja Katholik yaitu Kasula dan stola disusul Perayaan Peneyerahan diri saya oleh ketua Suku Monewalu kepada SVD dan Gereja, yang berpuncak dalam Perayaan Ekaristi Kudus pusat iman Kristiani. Perayaan Misa Perdana ini sungguh sangat menyentuh saya dalam setiap refleksi perjalanan panggilan saya. Perayaan ini selalu menguatkan saya dalam perziarahan panggilan imamat saya. Dikala saya terlalu memiliki keterikatan bathin yang kuat, saya mengambil waktu hening, melihat kembali perjalanan panggilan saya, misa perdana ini selalu memberi inspirasi dan sekaligus kekuatan bahwa saya telah diserahkan oleh Suku Monewalu kepada Gereja dan SVD waktu misa perdana itu maka saya tidak perlu hidup dikuasai oleh perasaan sesaat terlalu memikirkan keluarga dengan segala persoalannya. Biarkanlah mereka menghadapi semua persoalannya. Jangan terlalu masuk dalam hidup keluarga.


Penyerahan saya kepada SVD dan Gereja oleh Ketua Suku monewalu ini diispirasikan oleh adat istiadat suku bunak tentang adat paen Tol. Meninggalkan rumah adat suku Bunak menuju rumah adat SVD, Serikat Sabda Allah, Societas Verbi Divini ada kaitan erat dengan yang namanya adat Paen tol yang berlaku dalam Suku Bunak. Paen Tol berarti meninggalkan suku asal menuju suku penerima. Alasan paen tol adalah suku asal memiliki banyak anggota sedangkan suku penerima kekurangan anggota atau nyaris anggotanya punah karena perempuan suku tersebut tidak meneruskan keturunan. Atau suku penerima itu mayaritas anggotanya adalah laki-laki dan perempuannya sedikit. Hal harus dimengerti dalam sistem adat matrilineal suku bunak yang sedang berlaku sampai saat ini. Paen adalah satu cara tetap mempertahankan nama suku dan anggotanya. Paen ini terjadi atas kesepakatan adat pemberi anggota sukunya dan penerima anggota suku. Pemberi anggota suku menerima harga adat atas anggotanya yang telah diberikan kepada penerima. Suku penerima mengeluarkan berupa uang, emas, perak sesuai aturan adat yang berlaku berdasarkan kesepakatan secara adat antara kedua belah pihak yaitu pemberi perempuan dengan penerima perempuan. Menurut saya ini semacam transaksi adat anggota sukunya dari pemberi anggota sukunya kepada penerima anggota suku yang baru. Penerima anggota suku akan menerima pendatang baru dan memberi mereka posisi penting dalam seluruh urusan adat suku penerima. Ini adalah satu penghargaan yang besar dari pihak penerima perempuan kepada pendatang baru. Pendatang baru ini ditempatkan sebagai raja dan bahkan sebagai tuan tanah dalam suku yang menerima mereka. Pendatang baru ini sebagai anggota resmi suku yang menerimanya lewat adat Paen Tol ini. Pendatang ini mendapat posisi sebagai pemimpin suku atau lebih dikenal sebagai ketua suku. Ini menunjukkan bahwa anggota suku baru itu memiliki tanggungjawab yang penuh bagi suku yang menerima mereka.

Dipandang dari sudut pandang adat, adat Paen Tol ini diciptakan untuk membangun relasi kekeluargaan adat yang lebih luas. Relasi adat itu akan abadi dalam keberadaan dan perziarahan suku penerima dengan suku pemberi perempuan. Pendatang suku baru itu juga mendapat harta warisan suku untuk diolah dan dilestarikan bagi anggota suku dan keluarganya. Anggota suku yang baru dapat menjadi pemilik atas suku yang dimasukinya dan pemilik segala yang menjadi harta warisan suku itu. Kehadiran pendatang baru sebagai pemilik suku Baru itu mengikatnya sampai mati. Dia telah meninggalkan suku awalnya dan dia telah dibaptis masuk suku yang baru. Dia tinggal di suku yang menerima dia dan jika pada suatu waktu meninggal, dia pun akan dikuburkan di kuburan suku yang menerima dia. Meskipun demikian dalam relasi adat , pihak suku yang memberikan perempuannya kepada suku penerima, sangat dihargai oleh suku penerima perempuan. Suku Pemberi perempuan diistimewakan karena mereka itu yang menjadi pelestari keturunan suku penerima perempuan, lewat perempuan yang diberikan kepada suku penerima perempuan. Penghargaan ini akan terungakap dalam setiap adat yang terjadi pada dua belah pihak. Saya sebagai anak yang dilahirkan oleh adat dan budaya suku Bunak yang demikian, lalu berefleski adat paen tol itu dalam konteks perjalanan panggilan saya sebagai seorang imam misionaris religius SVD. Saya telah meninggalkan orang tua, kakak, adik, keluarga dekat-keluarga jauh, anggota suku, rumah suku asal kelahiran saya menuju Rumah adat SVD, bukan lewat adat paen tol tetapi dalam Kaul Kekal, sebagai jembatan yang memasukkan saya secara resmi ke dalam rumah adat SVD. Saya beralih dari rumah adat suku Bunak memasuki rumah adat SVD. Seperti dalam rumah adat suku Bunak, dalam rumah adat SVD juga memiliki yang namanya ketua rumah adat SVD dan aturan bersama hidup dalam rumah adat SVD, baik dalam level general, provinsi, rentorat. Secara fisik ada keterpisahan tetapi dalam relasi yang lebih dalam yaitu relasi Cinta Rohani, saya tetap membangun relasi yang bagus dengan keluarga dan anggota rumah adat suku yang melahirkan saya secara adat sehingga saya menjadi pribadi yang beradat. Relasi yang demikian saya ungkapkan lewat doa-doaku bagi anggota rumah adat sukuku, lewat komunikasi lemat e-mail, surat-menyurat, sms, telephone. Juga saya tetap menjalin komunikasi lewat kunjungan kepada orang tua dan keluarga besar suku Monewalu, sesuai dengan tata auran SVD, yaitu setiap tiga tahun menjalankan hukum ke-empat, mengunjungi orang tua dan anggota suku di rumah adat suku asal saya. ****

Kamis, April 03, 2008

ACADEMIA NTT

http://www.ntt-academia.org/

Rabu, April 02, 2008

PUSLIT MANSE NSAE

Lia Dadolin adalah journal yang diterbitkan oleh (http://www.manse-nsae-research-center.blogspot.com/ ) Puslit Manse Nsae. Manse Nasae artinya matahari terbit. Dari namanya tampak identitas puslit ini yaitu penemuan nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam budaya Timor dalam dialog dengan nilai-nilai universal yang menyatukan semua manusia melintas batas.

Minggu, Maret 30, 2008

ASAL USUL KEANGGOTAAN RUMAH SUKU MONEWALU


 

*P.Benediktus Bere Mali, SVD*



Ada banyak rumah suku di Aitoun. Rumah setiap suku Bunaq Aitoun berbasiskan sistem kekerabatan matrilineal. Merasakan sistem kekerabatan matrilineal berarti menikmati harta warisan bergerak dan tidak bergerak dan terutama garis keturunan penerus keanggotaan rumah suku berdasarkan garis ibu atau  mama atau perempuan. Setiap bayi yang lahir dari ibunya yang memiliki Rumah Suku Monewalu, misalnya, berarti anak-anak menjadi anggota runah suku Monewalu; demikian juga harta warisan bergerak dan tidak bergerak dalam keluarga adalah milik ibu dan akan diteruskan anak-anak perempuan. Sedangkan anak-anak setelah menikah tinggal di rumah isterinya yang mendapat harta bergerak maupun tidak bergerak dari orang-tuanya. Tetapi anak-anak laki-laki yang menikah dan tinggal di rumah isteri tetap terikat dengan rumah suku ibu kandungnya sendiri. Anak laki-laki yang menikah tidak masuk menjadi anggota rumah suku isterinya. 


Misalnya, rumah Suku Monewalu adalah rumah Suku Mama Saya, Oliva Lawa Koi. Rumah suku bapa saya Asutalin Leb. Maka dalam sistem matrilineal saya adalah anggota Rumah Suku Monewalu. Saya secara adat bukan menjadi anggota rumah suku Astalin, rumah suku Bapa saya, Gabriel Mali.   


Berdasarkan bahasa Bunaq; Bunaq Aitoun mirip dengan Bunaq di kecamatan Lamaknen dan  Lamaknen Selatan dan di negara Timor Leste. Secara administratif, suku Bunaq Aitoun masuk dalam kecamatan Raihat. Beberapa peneliti awal, di wilayah suku Bunaq tidak mencantumkan suku Bunaq Aitoun dalam penelitian ilmiah. Dengan demikian rumah-rumah suku di Bunaq Aitoun pun tidak dimasukan dalam tulisan ilmiah yang dipublikasikan. 


Suku Bunaq di Indonesia ada di Pulau Timor Barat, termasuk di Desa Aitoun. Anggota Rumah suku Monewalu bukan langsung turun dari langit. Mereka dari beberapa rumah suku yang mendirikan keanggotaan rumah suku Monewalu. Ceritera asal-usul suku Monewalu secara lisan selalu dirasakan dan dialami di dalam ritus adat yang terjadi dari kelahiran anggota sampai kematiannya. Ceritera lisan tentang asal-usul setiap keanggotaan rumah suku paling jelas di dalam ritus adat kenduri. Tua adat pasti menguraikan sejarah asal-usul anggota yang kendurinya sedang dibuat. Ritus itu lahir dalam doa, korban darah daging, dan sejak leluhur sejak-awal mula terbentuknya rumah sudah dilakukan yang sama sehingga Tua adat tinggal meneruskan ceritera lisan asal-usul keanggotaan rumah suku. Tua adat ini bukan tanpa pengalaman. Sejak masa muda sudah mendampingi seniornya sehingga menjadi tua itu sudah terbentuk sejak masa muda. Sehingga kelak dapat melanjutkan  semua yang telah dilakukan senior. Biasanya senior melihat kemampuan calon pengganti yang memiliki integritas yang baik dalam konteks adat suku Bunaq Aitoun secara keseluruhan dan Adat rumah adat setiap rumah suku. Senior tua adat biasanya memberikan catatan-catatan sejarah asal-usul setiap rumah adat yang ada di Aitoun selama menjadi pengikut yang sabar, tenang, dan rendah hati serta memiliki kebijaksanaan. 

Rumah-rumah suku lain yang membangun dan menciptakan rumah suku baru, misalnya dalam hal ini rumah suku Monewalu disebut "malu".  Apa artinya 'malu"? Malu berarti rumah-rumah suku lain yang mengutus anak perempuan dari rumah sukunya pergi membangun dan membentuk rumah suku yang baru. Misalnya rumah suku Monewalu. Rumah suku Laimea mengutus anak perempuannya menciptakan rumah suku Monewalu. Dalam hal ini, anggota Rumah Suku Laimea berstatus sebagai "malu". Sedangkan Rumah suku Monewalu dengan anggotanya memiliki status 'ai ba'a". Apa arti "ai ba'a?" Artinya rumah suku yang berasal dari rumah suku "malu". Itulah sejarah asal-usul setiap anggota rumah suku yang secara jelas terungkap dalam ritus adat kenduri dari setiap anggota rumah suku yang meninggal. Ikatan asal-usul anggota rumah suku dan relasi antara "malu" dengen "ai ba'a" ini selalu diikat secara kokoh dalam ritus-ritus adat yang terjadi di wilayah Bunaq Aitoun, secara istimewa dalam adat kenduri yang dalam bahasa setempat dikenal dengan sebutan "lal guju."


Ada sejumlah kelompok rumah suku yang mengutus anggotanya membentuk dan menjadi anggota rumah suku Monewalu. Dalam hal ini Rumah suku Monewalu adalah "ai ba'a" sedangkan  rumah-rumah suku yang mengutus anggotanya membentuk rumah suku Monewalu disebut rumah-rumah suku "malu". Dengan demikian setiap anggota rumah suku Monewalu berasal dari ruma-rumah suku yang mengutus anggotanya menjadi anggota rumah suku Monewalu. Rumah-rumah Suku-suku yang mengutus anggotanya membentuk rumah suku Monewalu dalam waktu yang tidak bersamaan itu dapat diikuti dalam bagian-bagian seperti di bawah ini.  

1. Anggota Rumah Suku Laimea

Rumah Suku Laimea memiliki relasi erat dengan rumah suku Monewalu. Mama Oliva Lawa Koi memiliki suku Monewalu. Menurut sejarah asal-usul Mama Oliva Lawa Koi ini berasal, lahir dari perempuan yang berasal dari rumah suku Laimea yaitu suku pemberi perempuan kepada rumah suku Monewalu. Berdasarkan sejarah asal-usul itu maka suku Laimea sebagai rumah suku 'malu' di mata anggota rumah suku Monewalu. Rumah Suku 'malu' artinya pemberi perempuan kepada anggota rumah suku Monewalu. Relasi antara rumah suku Monewalu dengan rumah suku Laimea ini akan terlihat jelas dalam ritus adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu yang berasal dari keturunan mama Oliva Lawa Koi. Rumah Suku Leimea sendiri akan diulas dalam edisi-edisi berikut karena untuk saat ini penulis belum mendapatkan informasi yang memadai tentang rumah adat suku Laimea. Anggota Rumah Suku Monewalu dan Anggota Rumah Suku Laimea, dalam konteks salah seorang anggota, dalam hal ini Mama Oliva Lawa Koi, melihat Anggota Rumah Suku Laimea sebagai 'malu' sebagai asal-usulnya dan sebagai anggota rumah suku Monewalu atau Rumah Adat Suku Monewalu, sebagai 'ai ba'a' dalam relasi antara keduanya. Rumah suku Laimea atau Rumah Adat Laimea sebagai 'malu bul' atau sumber utama atau asli dari Mama Oliva Lawa Koi dan seluruh keturunan Mama Oliva dalam sistem matrilineal suku Bunaq Aitoun. Sedankan rumah-rumah suku lain yang mengutus anggotanya menjadi anggota rumah suku Monewalu dalam waktu yang berbeda, entah lebih dahulu atau kemudian dari Mama Oliva menjadi anggota rumah suku Monewalu, disebut juga sebagai 'malu' biasa 'malu bul'.  Apa artinya 'malu bul'?  Artinya adalah asal asli dari seorang anggota rumah suku Monewalu datang dan menjadi anggota rumah suku Monewalu dalam maktu yang berbeda-beda, ada yang datang lebih awal, ada yang datang kemudian menjadi anggota rumah suku Monewalu.

2. Anggota Rumah Suku Monesogo

Anggota Rumah Suku Monesogo adalah sebagai saudara dan saudari bagi anggota rumah suku Monewalu. Dalam sistem kawin mawin, anggota suku Monewalu tidak boleh kawin dengan anggota suku Monesogo karena posisi sejak awal berasal dari satu rumah suku 'malu' yang mengutus anggotanya membentuk dan mendirikan keanggotaan rumah suku Monesogo. Kecuali kemudian, ada anggota rumah suku Moensogo yang menjadi anggota rumah suku Monesogo berasal dari rumah suku yang berbeda sehingga asal-usulnya tidak berasal dari rumah suku 'malu' yang sama.  Misalnya,   semua anggota rumah suku Monesogo dan Rumah adat suku Monewalu yang berasal dari rumah  Suku Laimea sebagai 'malu bul' bagi kedua rumah tersebut, tidak dijinkan adat untuk membangun hubungan persaudaraan sejati 'malu' dengan 'ai ba'a' untuk terlibat dalam kawin-mawin.

Perempuan adik-kakak dari rumah suku Laimea itulah yang satunya membentuk rumah suku Monewalu dan yang lainnya membangun rumah suku Monesogo yang berkembang pesat anggotanya  sampai dewasa ini. Diceriterakan bahwa dari perempuan adik-kakak suku Laimea itu, kakaknya ke rumah suku Monewalu dan adiknya ke rumah suku Monesogo. Maka dalam relasi ini tidak pantas kedua suku itu menjalin hidup berkeluarga lewat perkawinan dalam suku bunaq. Kecuali keanggotaan kedua rumah suku itu berasal dari rumah suku yang berbeda-beda dan secara aturan adat dipantaskan untuk membangun kehidupan berkeluarga sebagai suami isteri. 

3. Anggota Rumah Suku Sigup

Anggota Rumah Suku Sigup ini adalah 'malu' bagi anggota rumah suku Monewalu. Anggota rumah Suku Sigup ini sebagai kelompok rumah suku yang memberi perempuan kepada rumah suku Monewalu dan lewat perempuan yang menjadi anggota rumah suku Monewalu itu menambah keanggotaan rumah suku Monewalu. Anggota rumah suku Monewalu yang berasal dari rumah suku Sigup ini akan dicari informasinya agar penulis mendapat data yang baik untuk mempublikasikan secara detail tentang rumah suku Sigup dan berapa jumlah anggota rumah suku Monewalu yang berasal dari suku Sigup. Relasi antara angota rumah suku Monewalu dengan anggota rumah suku Sigup akan tampak lebih jelas dalam adat kematian yang dialami oleh anggota rumah suku Monewalu atau sebaliknya, yang dirayakan dalam ritus kematian yang dipimpin oleh tua adat.

4. Anggota  Rumah Adat Suku Liana'in

Anggota Rumah Adat Suku Liana'in adalah salah satu rumah suku yang memberi anggotanya menambah keanggotaan rumah suku Monewalu. Suku Liana'in disebut sebagai suku 'malu' dimata anggota rumah suku Monewalu. Asal-usul keanggotaan rumah suku Liana'in ini akan diuraikan secara panjang lebar setelah penulis mendapat informasi yang benar dan baik, dari sumber yang terpercaya, pada sesion tersendiri. Relasi antara anggota rumah suku Liana'in dengan anggota rumah suku Monewalu ini akan tampak jelas dalam proses urusan adat kematian seorang anggota suku Monewalu.  Adat kenduri dari salah satu anggota kedua rumah suku tersebut secara gamplang menguraikan secara rinci asal-usul kedua keanggotaan rumah suku tersebut.

5. Anggota Rumah Suku Hoki'ik

Anggota Rumah Suku Hoki'ik ini adalah pemberi anggota rumah sukunya kepada rumah suku Monewalu dan menjadi anggota rumah suku Monewalu dalam maktu yang tertentu dibanding dengen anggota rumah suku Monewalu yang berasal dari rumah suku yang lain. Rumah adat Suku Hoki'ik disebut sebagai anggota rumah suku 'Malu' (pemberi perempuan), di mata anggota rumah adat suku Monewalu. Rumah Suku Monewalu sendiri disebut sebagai anggota rumah suku 'aiba’a' (penerima perempuan) di mata anggota rumah suku Monewalu dan anggota rumah suku Hoki'ik. Relasi adat kedua rumah suku itu akan tampak lebih jelas di dalam proses adat kematian seorang anggota suku Monewalu maupun anggota rumah suku Hoki'ik. 


Keunikan rumah suku Monewalu dalam berelasi dengan kelompok suku-suku pemberi perempuan tersebut di atas dapat ditelusuri lewat sejumlah adat yang berlaku dalam rumah adat suku Monewalu di Asueman pada khususnya dan di Aitoun pada umumnya.

Adat yang menguak identitas suku Bunaq Aitoun (penyebutan suku di sini berdasarkan Bahasa Bunaq) secara lebih terbuka adalah proses ritus  adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu. Perayaan ritus adat kematian menguraikan semua keunikan anggota rumah suku Monewalu dalam konteks perspektif budaya setempat. Seseorang suku Bunaq Aitoun (sebutan ini berdasarkan bahasa Bunaq sebagai bahasa setempat) meninggal ada tata adatnya sendiri. 


Informasi ini berdasarkan interview Bapak Gabriel Mali, sebagai sumber utama pada tanggal 29 Maret 2008. Beliau adalah seorang tua adat di dalam wilayah suku Bunaq Aitoun. Beliau juga adalah tokoh agama, sebagai Guru Agama senior di Lingkungan Asueman.


Beliau memiliki pengalaman dalam hal urusan adat di masyarakat Suku Bunaq Aitoun dari adat kelahiran sampai kematian di wilayah suku Bunaq Aitoun. Menurut penulis, Bapa Gabriel memiliki pengalaman yang istimewa di Aiotun khususnya dalam urusan agama Katolik sebagai Guru Agama Senior dan dalam urusan Adat Suku Bunaq Aitoun beliau adalah tua adat senior yang mengkaderkan orang muda untuk menjadi tua adat . Selain itu Bapa Gabriel memiliki kematangan psikologis dan kecerdasan sosial yang sangat matang.

Salah satu bagian penting dari interview itu adalah tentang adat kematian suku Bunaq Aitoun yang diciptakan leluhur, yang mana adat yang dicipta itu kemudian membentuk cara berpikir, berperasaan dan berperilaku dalam kehidupan pemilik adat sebagai seorang anggota Suku Bunaq Aitoun.


Ritus adat kematian dengan tahap-tahapnya yang direkam dari wawancara itu seperti yang tertulis di bawah ini sebagai penegasan untuk memperjelas relasi adat Rumah Suku 'Malu" dengan Rumah Suku 'Aiba'a' yang menjadi basis relasi anggota-anggota dalam hidup beradat di dalam Suku Bunaq Aitoun. Ritus adat kematian dapat dilaksanakan dalam keadaan anggota rumah suku yang merayakan adat kenduri harus hidup rukun dan damai. Dengan demikian Ritus Rekonsiliasi bagi pihak-pihak yang konflik dalam rumah suku bunaq Aitoun harus dilaksanakan pada awal ritus adat kenduri. Intinya adalah anggota rumah suku menenun  kembali kerukunan dan damai telah retak dan hidup rukun dan damai itu dibangkitkan lagi sedangkan konflik dikuburkan atau dimatikan. Dengan demikian anggota yang meninggal pergi ke Surga dengan damai karena anggota yang masih hidup secara tulus ikhlas dan damai melepaspergikannya ke surga. 

1. Adat "Tel Taba"

"Tel Taba" artinya menggali kuburan. Orang pertama yang menggali kuburan adalah 'malu', khususnya dari salah seorang anggota rumah Suku Laimea, pemberi perempuan kepada rumah suku Monewalu-nya Oliva Lawa Koi. Sesudah itu suku malu yang lain (bukan suku Laimea) menggali kuburan selanjutnya. Mengapa seorang anggota rumah Suku Laimea sebagai  "malu bul" yang pertama menancapkan tajak ke tanah untuk membuka penggalian khubur? Karena Anggota Rumah Suku Laimea adalah asal-usul anggota rumah suku Monewalu. Seorang anggota rumah suku Monewalu-nya Oliva Lawa Koi ini berasal dari keturunan seorang perempuan yang diberikan oleh rumah suku Laimea untuk mendirikan dan menjadi anggota serta menumbuhkembangkan keanggotaan rumah suku Monewalu. Seorang anggota rumah suku Monewalu-nya Oliva Lawa Koi ini, meninggal, berarti yang berhak pertama menggali kubur adalah seorang anggota rumah suku Laimea atas perintah ketua anggota rumah suku Laimea, bukan atas kehendak pribadi seorang anggota suku Laimea. Suku Laimea sebagai pemberi hidup kepada anggota rumah suku Monewalu (Rumah Suku Laimea sebagai pemberi perempuan) dan Rumah suku Laimea juga yang kembalikan hidup itu kepada wujud tertinggi, “Hot Essen” lewat kuburan itu. Kecuali ketua Rumah suku Laimea berhalangan, dan anggota Rumah suku Laimea tidak dapat dihubungi karena alasan tempat, jarak dan sebagainya. Maka ketua Rumah suku Laimea dapat mendelegasikan tugas pertama penancapan tajak sebelum gali kubur itu kepada suku 'malu' yang lain, yang bukan dari rumah suku Laimea, dalam berelasi dengan rumah suku Monewalu yang sedang berduka karena seorang anggota rumah sukunya telah meninggal dunia. Sekali lagi bahwa rumah suku 'malu' lain boleh menancapkan tajak pertama sebelum gali khubur, tetapi harus mendapat mandat dari Ketua rumah Suku Laimea.

Kalau suku "malu" lain mendahului menggali kubur atau menancapkan tajak sebelum penggalian kubur selanjutnya, maka suku "malu" lain akan berkomentar bahwa itu tidak benar dan tidak sah secara adat-istiadat yang telah berabad-abad berlaku dalam adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu, dalam relasi antara rumah suku pemberi perempuan dengan rumah suku penerima perempuan.

Untuk menarik kembali ketiksahan secara adat itu maka harus dipulihkan dengan memberi sejumlah uang kepada rumah Suku Laimea dalam pembicaraan adat damai, dalam istilah suku bunak, adat Dame, artinya berdamai kembali.

2.  Adat "Gon Tolo"

"Gon Tolo" artinya, meletakkan tangan atau memindahkan tangan seorang anggota rumah suku Monewalu sebagai aiba’a yang telah meninggal, dari posisi belum di atas dada, kemudian ke atas dadanya, seperti sikap doa. Peletakan tangan yang meninggal ke atas dadanya itu dilakukan oleh para angota suku pemberi perempuan atau "Malu". Pemindahan tangan ke atas dada si meninggal oleh para malu, dalam istilah bahasa Bunaq dikenal dengan nama atau sebutan: "Gon Tolo" artinya "Malu gini en heser gon ba giwitar no Tula".

Para "Malu" yang memindahkan tangan seorang yang meninggal ke atas dadanya itu dibayar dengan sejumlah uang sesuai permintaan para "Malu" yang mengangkat tangan yang meninggal ke atas dadanya". Pada umunya harga adat "Gon Tolo" itu mulai dari Rp.50.000 sampai dengan Rp.100.000.-

Tata adat ini diwariskan para leluhur secara turun temurun. Sampai dewasa ini pun mesih tetap dijalankan oleh suku Bunaq di desa Aitoun-Kecamatan Raihat - Kabupaten Dati II Belu - Propinsi Nusa Tenggara Timur - Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses adat “Gon Tolo” ini disaksikan sendiri oleh penulis pada tanggal 18 Mei 2007, ketika Bapak Simon Tes meninggal dunia. Bapak Simon Tes ini adalah seorang anggota rumah suku Monewalu.

3. Adat "Gawak".

"Gawak" berarti mengarak peti jenasah ke kuburan yang telah disiapkan. Peti Jenasah ini ditutup dengan Kain Adat. Kain adat itu diambil oleh para "Malu" itu. Pada dasarnya para "Malu" berebutan, siapa yang cepat dia yang dapat kain adat penutup Peti Jenasah itu. Rebutan itu terjadi di kuburan sebelum peti jenasah diturunkan ke dalam kubur. Pemikul peti jenasah itu adalah para "malu" bersama para pemuda yang memiliki tenaga yang cukup agar perjalanan menuju tempat penguburan berjalan tanpa hambatan. Selama perjalanan para pengiring itu mengadakan lagu-lagu ratapan khas suku Bunaq. Inti lagu adat ratapan itu adalah merasa kehilangan secara fisik, tetapi tetap hidup semua contoh dan teladan hidupnya yang baik dan benar. Semua yang baik akan selalu dikenang dalam pikiran. Sebuah kenangan yang dirayakan dalam hidup konkret oleh keluarga yang ditinggalkannya.

4. Adat "Il Hesik".

"Il Hesik" berarti pemercikan air putih yang telah didoakan dan diberkati secara adat oleh para lal gomo atau tua adat dengan perantaraan para leluhur dan wujud tertinggi yang diimani yaitu “Hot Essen. Para "Malu" percikkan air berkat itu ke atas para "aiba’a" yang sedang berduka, di depan rumah duka, setelah pulang dari kuburan.

Percikan air berkat ini bertujuan supaya keluarga yang berduka itu dengan hati yang bersih masuk dalam rumah duka. Makna pemercikan ini adalah pembersihan, penyucian "aiba’a" yang berduka, agar hati mereka kembali dikuatkan oleh rahmat pembersihan dan penyucian yang diberikan oleh para "Malu" sebagai pemilik rahmat penyucian itu. Rahmat itu mereka terima dari para leluhur sebagai perantara wujud tertinggi yaitu “Hot Essen” yang mereka imani dalam adat suku Bunak. Rahmat itu disalurkan oleh para “malu” kepada keluarga “aiba’a” yang sedang berduka, percikan air berkat di depan rumah duka.

5. Adat "En Gawa Gini".

"En Gawa Gini" artinya memberi makan minum kepada semua "malu gol" dan "Aiba'a gol" yang datang di rumah duka. Acara makan minum ini berlangsung setelah pulang dari acara penguburan, khususnya setelah keluarga berduka menerima berkat lewat percikan air berkat itu. Persiapan makan minum bagi para “malu” sungguh istimewa karena mereka ditempatkan sebagai raja dalam menikmati pelayanan para “aiba’a”. Mereka ditempatkan seperti itu karena para “malu” sebagai asal hidupnya anggota rumah suku Monewalu yang sedang berduka. Suku Monewalu harus merendah di hadapan suku pemberi perempuan. Kerendahan hati suku Monewalu itu terungkap lewat kata-kata, sikap hidup dan perbuatan sopan di dalam membangun relasi dengan para “malu”. Pelayanan yang kurang ideal, akan dikomentari bernuansa negatif terhadap suku Monewalu. Karena itu, suku Monewalu berupaya melayani secara maksimal kepada para “malu” yang diposisikan seabagai raja tamu agung dalam seluruh relasi proses adat kematian yang terjadi dan berlangsung.

6. Adat "Lasik Wa"

"Lasik Wa" ini berlangsung selama makan minum bersama setelah para malu dilayani secara istimewa. "Lasik Wa" ini hanya oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo" anggota rumah adat suku "aiba’a" yang anggotanya meninggal dunia. "Lasik Wa" ini berarti ketua rumah suku bersama para om dalam rumah Suku Monewalu, menentukan suatu keputusan bersama tentang berapa jumlah uang yang akan dikumpulkan oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo". Jumlah uang yang ditentukan itu jumlanya sama, yang harus ditanggung atau dikumpulkan oleh setiap "Mane Pou" atau nyadu atau kela yaitu suami para perempuan sebagai anggota Rumah Suku Monewalu yang sedang berduka dan "Deu Gomo" yaitu semua laki-laki yang disebut sebagai "aiba’a” (Anggota Rumah Suku Monewalu).

Berdasarkan pengalaman, para Om dari Rumah Suku Monewalu bersama Ketua Rumah Suku Monewalu memutuskan secara bersama-sama tentang sejumlah uang yang akan dikumpulkan sesuai kebutuhan pelaksanaan ritus adat sejumlah  Rp.50.000 sampai dengan Rp.100.000 / orang baik sebagai "Mane Pou" maupun sebagai "Deu Gomo". Uang yang dikumpulkan itu disebut dengan istilah dalam suku Bunaq yang berbahasa Bunaq sebagai "Lasik Wa".

Uang yang dikumpulkan itu untuk apa? Uang itu akan digunakan untuk pelaksanaan adat "Si Por Pak " atau "Si Giwitar Pak" yaitu proses pembunuhan seekor babi paling besar dalam perayaan ritus adat sebagai inti utama dari adat kematian seorang anggota rumah suku karena adat ini sebagai proses membuka pintu bagi jiwa anggota suku yang meninggal ke dalam persekutuan bahagia dengan jiwa-jiwa leluhur.

Tempat tinggal para leluhur atau rumah suku leluhur itu disebut dengan istilah bahasa Bunaq “Mot”. Memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam Rumah Adat Para leluhur itu dalam bahasa Bunaq disebut dengan istilah “Mot Tama”.

Selain itu uang yang dikumpulkan itu atau uang hasil “Lasik wa” itu digunakan untuk membeli beras; membeli Babi untuk lauk makan minum selama proses urusan adat kenduri.

Uang yang dikumpulkan itu juga untuk adat "Kaba" yaitu pemberian berkat oleh "Malu" kepada "Aiba'a" sebagai satu bagian utama dan penting yang tidak terpisahkan dalam seluruh rangkaian adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu.

Uang dari "Lasik Wa" itu juga untuk "Tais Hota"; uang itu juga untuk stipendium bagi "Lal Gomo" yaitu dia yang tahu sejarah asal-usul suku "Aiba'a" dan mendoakan jiwa suku "Aiba'a" yang telah meninggal untuk memasukkan jiwanya ke dalam persekutuan bahagia abadi para leluhurnya di dunia seberang, sebagai acara puncak  dari adat "Si Por Pak".

Kalau uang yang dikumpulkan itu masih ada atau lebih atau masih tersisa, maka pada zaman dahulu, kelebihan uang itu dimasukan ke dalam kantong ketua rumah suku. Tetapi pada zaman sekarang ini sudah mulai terkontrol oleh sekretaris yang menulis jumlah uang yang dikumpulkan itu dan setelah pengeluaran dalam seluruh urusan adat kematian itu, berapa besar pengeluaran itu diumumkan kepada seluruh anggota rumah suku Monewalu dalam ruangan terbuka dengan segala bukti pengeluaran, dan uang sisa/saldonya diumumkan juga kepada anggota rumah suku "Aiba'a" yang telah mengumpulkan itu sehingga dewasa ini lebih transparan -jujur dibandingkan dulu-dulu. Sisa uang itu biasanya tidak dikembalikan kepada para pengumpul, tetapi uang itu dapat ditabung untuk urusan adat kematian berikutnya.

7. Adat "Si Por Pak".

Adat Si Por Pak" ini dipimpin oleh "Lal Gomo" yaitu tua adat yang tahu tentang asal usul sejarah suku "Aiba’a" yang telah meninggal, dan juga anggota suku "Aiba’a" yang masih hidup, yang sedang berduka. "Lal Gomo" itu didampingi oleh para Om suku "Aiba'a" (Rumah Suku Monewalu) dan ketua rumah suku Monewalu juga dari rumah suku "Malu". Setiap suku yang menjadi asal-usul rumah suku "Aiba,a", yaitu suku-suku "Malu" yang disebut sebagai asal-ausul sejarah suku "Aiba'a" itu punya bagian adatnya.

Bagian adat setiap suku "Malu" itu terdiri dari satu ikat daging dengan jumlah uang sekitar Rp.50.000 sampai Rp.200.000.- Bagian-bagian itu ditentukan oleh "Lal Gomo" dan disatukan dalam doa "Lal Gomo" yang intinya memasukkan jiwa anggota suku "Aiba'a" yang telah meninggal ke dalam rumah suku para leluhurnya yang hidup bahagia di dunia seberang, setelah hidup di dunia ini. Penjelasan dan doa "Lal Gomo" ini dberi stipendium sekitar Rp.250.000 - Rp. 500.000.- Peran "Lal Gomo"itu sangat penting dalam memberi penjelasan yang tepat dan benar tentang asal-usul anggota suku orang yang meninggal dan memasukkan jiwanya ke dalam rumah suku para leluhur. Kesalahan penjelasan akan diberi hukuman atau kutukan oleh para leluhur. Pola ini sudah berakar dan berkembang dalam mentalitas suku bunak, dalam hal ini dalam pribadi Suku Monewalu.

8. Adat "Mot Tama".

"Mot Tama", berarti jiwa orang yang meninggal itu telah masuk ke dalam persekutuan dalam rumah suku para leluhur di dunia seberang, yang hidup tiada akhir, bahagia untuk selamanya. "Mot Tama" itu tercapai oleh jiwa orang yang meninggal setelah adat "Si Por Pak" yang telah dilaksanakan secara sempurna. Tanpa adat “Si Por Pak”, maka diyakini secara adat, jiwa orang yang meninggal itu belum masuk dalam rumah adat para leluhur atau “Mot Tama” atau masuk surga.

9. Adat "Tais Hota".

"Tais Hota", berarti "Suku-suku Malu" membawa kain adat dan anggota suku "Aiba'a" membawa uang untuk membeli kain itu. Harga kain adat itu ditentukan "Malu" sebagai penjual barangnya kepada "Aiba'a". Para "Malu" tentukan harga kain itu kepada pembeli yaitu "Aiba'a" dan para "Aiba'a" harus membeli kain itu.


Kalau "Aiba'a" tidak mau membeli maka akan muncul masalah baru yaitu para "malu" merasa tersinggung, tidak dihargai. Dan itu akan diungkapkan pada adat kematian berikutnya, dan bayarannya atau pemulihan kembali rasa tersinggung itu tetap akan dilakukan yaitu pihak "aiba'a" memberi uang kepada " malu " yang tidak dihargai itu sebagai rujuk-rukun kembali secara adat. Ada sedikit unsur bisnis dalam adat "tais hota" ini.


10. Adat "Kaba"

"Kaba" berarti pemberian berkat oleh suku-suku "Malu" kepada suku "Aiba,a". Suku monewalu di-"kaba"-kan oleh "Malu" yang bersuku Laimea. Suku-suku "malu" yang lain juga memberi kaba kepada suku "Aiba'a" tetapi caranya berbeda.

Bahan yang disiapkan unntuk "Kaba". Suku "Aiba'a" menyediakan 5 (lima) buah "Taka Giral" tempat sirih pinang dan uang stipendium atau derma kepada para suku "Malu". Angka 5 (lima) "Taka Giral" itu sesuai jumlah suku "Malu" dalam kacamata suku Monewalu sebagai suku "Aiba'a". Dapat disebutkan bahwa 5 (lima) "Taka Giral" sama dengan 5 (lima) suku "Malu" yaitu suku Laimea, suku Mone Sogo, Suku Si Gup, Suku Lianain, suku Hokiik bagi Suku Monewalu sebagai suku "Aiba;a".

Proses "kaba" yaitu pemberian berkat oleh "malu" kepada "aiba'a". Pertama-tama para wakil suku-suku Malu itu mendoakan bersama di atas sirih-pinang dan uang yang ada dalam "Taka Giral" di depan masing-masing suku "malu" itu. Doa para malu atas sirih - pinang - uang dalam "Taka Giral" itu dikenal dalam bahasa bunaq dengan istilah "Molo Guhu" .Setelah acara doa atas "Taka Giral", atau "Molo Guhu", disusul dengan Wakil Suku Laimea memberi berkat tanda salib di dahi setiap anggota suku "aiba'a" (Suku Monewalunya Oliva Lawa Koi), dan disusul oleh wakil suku-suku "malu" yang lain dengan cara: anggota "aiba'a" setelah terima "kaba" tanda salib dengan sirih pinang yang dimakan-dikunya mulut suku Laimea, anggota "aiba'a" itu pindah kepada wakil suku "malu yang berikut dengan menyerahkan atau mengulurkan tangannya dan wakil suku malu yang lain meniupkan ujung kedua tangan anggota suku "aiba'a". Semua suku "malu" makan sirih pinang yang telah disiapkan dalam "Taka Giral" tadi. Suku Laimea memberi "Kaba" dengan mengambil ampas siri-pinang dari mulutnya dan membuat tanda salib di dahi setiang anggota suku "aiba'a" yang di-"kaba"-kan.

Empat (4) suku "malu" lainnya memberi "kaba" dengan meniupkan ujung tangan setiap anggota "aiba'a" setelah terima tanda salib -kaba- dari suku Laimea. Mengapa suku Laimea memberi "kaba" tanda salib di dahi suku Monewalu sebagai "aiba'a"? Karena Suku Monewalunya Oliva lawa Koi berasal dari suku Laimea. Setelah Adat "kaba" usai, maka semua adat kematian belum selesai.

11.Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu


Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.


Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.

Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER  dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.

Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.

Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir  atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.

Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.

Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.

Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir  atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.

Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER  atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.

Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.

Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.

Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.

Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.

Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti  dan terbukti bahwa: "jika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."***







Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..




Kamis, Maret 27, 2008

MENEROPONG KARAKTER MANUSIA SUKU BUNAK LEWAT JEMBATAN KEHIDUPAN RELIGIUSNYA

Setiap pagi suku Bunaq memandang ke Timur melihat matahari terbit. Matahari memberi terang, kehangatan badan dan memberi keindahan di pagi hari. Betapa indahnya memandang matahari terbit di pagi hari di Desa Aitoun, dan seluruh kecamatan Lamaknen.Mengapa matahari terbit di Timur? Itulah pertanyaan yang selalu muncul dari anak-anak suku Bunak di pagi hari kepada orang tuanya ketika menikmati hangatnya sinar matahari pagi di dusun Asueman. Ada banyak pendapat tentang matahari terbit di timur. Ada yang berpendapat bahwa matahari terbit di Timur menunjukkan bahwa Terang dan kebijaksanaan itu berasal dari dunia Timur. Ada yang mengatakan bahwa keadaan alam ini menunjukkan bahwa kebaikan, keindahan, dan kebenaran itu juga datang dari Timur. Dalam kosa kata bahasa Bunaq, terang yang terbit dari Timur itu dikenal dengan sebutan "Hot Sae". "Hot Sae" ini sinonim dengan kata bahasa Bunak "Hot Taru", artinya Matahari terbit. Dalam Bahasa Latin "Sol Oriens". Dalam Bahasa Tetum "Loro Sae". Semuanya berarti matahari terbit. Sejak dahulu kala, para leluhur yang belum ternoda oleh pengaruh dari luar termasuk agama-agama yang berkembang di seantero ibu pertiwi negara Indonesia tercinta ini, telah memiliki kehidupan religius khas suku bangsa Bunaq. Suku bunak telah mengimani satu wujud tertinggi dalam kehidupannya. Wujud tertinggi itu menjadi harapan terakhir bagi suku Bunak dalam suka-duka, kepastian dan kebingungan perziarahan hidupnya. Mereka sangat konkret menyebut wujut tertinggi yang mereka akui itu dengan cukup melihat matahari. Matahari terbit itu menunjukkan bahwa itulah wujud tertinggi mereka. Wujud tertinggi suku Bunak ada dibalik matahari. Suku bunak melihat wujut tertinggi itu bukan sesuatu yang sangat jauh tetapi sangat dekat dan tampak dalam pengalaman merasakan indahnya matahari terbit di pagi hari yang cerah. Dalam kepercayaan suku Bunak, berdasarkan ceritera lisan dari mulut ke mulut, berdasarkan wawancara dengan para tua adat atau "lal gomo" yaitu insan-insan pandai adat suku Bunaq secara baik dan benar, atau lebih dikenal sebagai nabinya suku Bunak, rakyat suku Bunak tidak boleh menantang atau menatap matahari. Berdasarkan mitos, bahwa setiap orang yang menantang atau menatap matahari akan terkutuk mengalami kebutaan. Mengapa? Karena Matahari dibaliknya ada Wujud Tertinggi. Wujud Tertinggi itu tidak boleh ditantang. Setiap suku Bunak yang mengakui wujud tertinggi itu sebaiknya merendah di hadapan Wujud Tertinggi itu. Pandangan warisan para pendahulu itu menyimpan banyak makna yang perlu dibuka kepada pembaca. Penikmat tulisan mini ini akan menemukan bahwa semua suku Bunaq ditakutkan oleh mitos itu, sehingga mereka tidak menatap atau manantang matahari karena takut mendapat kutukan yang dimitoskan turun temurun oleh para pendahu dari generasi ke generasi. Ada juga yang barangkali menemukan satu pesan bahwa Wujut tertinggi itu dekat dibalik matahari sekaligus sebagai penguasa yang luarbiasa bagi suku Bunak. Kuasa Wujud tertinggi dalam konteks ini bisa saja dimengerti sebagai pengkerdilan geraklaku suku Bunak oleh paham yang menakutkan itu. Satu kehidupan religius yang menimbulkan pembonsaian kuasa manusia bunak di hadapan wujud tertinggi diakuinya. Pola atau paradigma seperti itu menjadi fundamen kehidupan religius suku Bunak.
Pola seperti itu bukan sesuatu yang hanya di dalam kepala manusia Bunak. Tetapi pola warisan itu dimiliki oleh para tokoh religius adat Suku Bunak. Para tokoh religius adat Suku bunak itu adalah para tua adat yang dikenal dalam kosa kata suku Bunak, lal gomo. Para lal gomo ini berperan sentral di dalam urusan kehidupan religius suku Bunak. Kehidupan religius suku Bunak ini sangat kompleks. Wujud tertinggi itu akan ditampakkan di dalam aneka urusan adat suku Bunak, meliputi adat kelahiran, kematian, panen dan sebagainya.

Pola ketakutan terhadap wujud tertinggi ini bisa mendatangkan prkatek kehidupan religius suku Bunak yang dapat menyesatkan. Suku Bunak bisa saja mentaati ritus kehidupan religius karena didorong oleh rasa ketakutan akan hukuman. Suku bunak bisa saja mentaati ritus adat kehidupan religius karena tidak mau dihukum oleh wujud tertinggi terhadap manusia yang tidak taat pada aturan adat-ritus kehidupan religius yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh para pendahulu dalam suku bunak. Para pemimpin kehidupan religius suku Bunak, bisa saja dapat menyetir pola pikir kehidupan rerligius yang demikian untuk menakut-nakuti rakyat kecil sederhana untuk mencari dan menemukan keuntungan pribadi. Hal ini bisa saja terjadi karena para penguasa adat dalam kehidupan religius sebagai pemilik dan pembuat aturan adat kehidupan religius yang memang pada awalnya duturunkan oleh nenek moyang tetapi di dalam perjalanan sejarah orientasinya bisa melenceng dari yang sebenarnya bagi kebaikan hidup bersama. Menghindari semuanya itu maka perlu adanya dialog dengan bidang ilmu lain yang bisa saja mengganggu kemapanan paham kehidupan religius dan juga bisa saja mengokohkan kembali paham tentang fundamen kehidupan religius demi kebaikan dan kebenaran bersama sebagai orientasi asali perziarahan kehidupan religius suku bunak.

Dalam paham tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa adat itu dibuat oleh manusia dan dihidupi oleh suku Bunak dalam konteks zaman. Hakekat adat yaitu nilai kebersamaan dan kekeluargaan adalah abadi. Tetapi cara membangkitkan atau menghidupkan nilai-nilai luhur itu tidak menindas atau harus secara efektif dan efisien, dalam arti tidak memiskinkan suku Bunak, tidak merugikan rakyat suku Bunak pada umunya, tetapi cara menghidupi nilai-nilai luhur adat yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, keadilan sosial itu harus sungguh mengalir keluar dari humanitas dan kehidupan iman yang dewasa.Untuk itu para pengambil keputusan adat dalam hal ini mereka yang sudah menempati status om dan presiden suku serta para tua adat, dalam sistem dan struktur adat suku Bunak, pemuka agama dan pihak pemerintah harus memiliki pendidikan atau wawasan yang sama untuk membentuk satu sistem yang mengatur gerak laku seluruh anggota suku bunak. Kesatuan paham itu perlu agar harapan manusia untuk semakin beriman semakin manusiawi dalam segala bidang kehidupan yang digelutinya, dapat dicapai dan dialami bersama. Sekali lagi bahwa hal ini akan menjadi kenyataan, kalau pendidikan para pengambil kebijaksanaan dan keputusan adat suku Bunak sangat memadai.Persoalan akan muncul kalau para om dan Ketua suku atau presiden suku, tidak memiliki pendidikan yang memadai dan kurang kontak dengan dunia luar, bergulat dan hanya dibentuk oleh pola pandang adat setempat sehinnga sulit mencapai idealisme tersebut di atas.Di sini rupanya, "Hot Taru" atau matahari terbit yang menjadi pembawa terang bagi suku Bunak dewasa ini perlu ditafsir ulang. Artinya bahwa para tua adat melegitimasi adatnya dengan "Hot Essen" yang dipandang sebagai pembawa hukuman, sebagai pembentuk adat yang sedang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melawan adat sama dengan melawan 'Hot Essen" wujut tertinggi yang melegitimasi adat suku Bunak. Tidak taat adat berarti membuka jalan untuk menerima aliran kutukan dari "Hot Essen" yang melegitimasi adat itu.Rupanya perlu tafsir ulang sesuai dengan konteks zaman disini, penulis hendak menggariskan kembali bahwa rupanya adat tidak cukup dinilai dari pola religius yang diakui dan diterima serta diturunkan oleh para lelur. Kini dalam pola " Satu Hati aneka Wajah" mau melihat atau mendeteksi adat yang diberlakuakan dari berbagai disiplin ilmu, agar yang tidak humanitas dan tidak mengarah kepada kehidupan iman yang sejati, dimurnihkan dan diarahkan kepada dua tiang penopang itu.

Untuk itu suku Bunak harus membuka gembok pintu adat suku Bunak agar diteliti oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, agar kemanusiaan dan keimanan ditampilkan ke permukaan menjadi nomor satu dalam seluruh pola dan gaya hidup suku bangsa Bunak. Memang pembaharauan sebuah pola pikir yang sudah berakar dalam dalam gaya hidup suku bunak, bukanlah sebuah usaha yang gampang. Pembaharuan membutuhkan proses. Dalam proses itu mendapat kemudahan dan kesulitan secara silih berganti. Gampang kalau setiap orang sadar akan kekurangan dalam pola pikir lama, dan mau bangkit bersama menuju pola pikir baru yang lebih manusiawi. Kesulitan kalau para generasi tua adat suku Bunak, tidak membuka adat sejelas-jelasnya, dengan dalih bahwa inilah hidup kami, tidak sadar akan elminasi kemanusiaan dalam pola pikir adatnya yang harus dibaharui. Para tua adat sulit menerima pembaharuan pola pikir dari generasi mudah karena para tua adat berprinsip bahwa tanpa adat ini kami kehilangan jati diri. Kami kehilangan pekerjaan. Tanpa adat ini kami kehilangan sesuatu dan tidak ada yang menggantikannya. Kami kehilangan semacam mata pencaharian. Karena ada benteng pertahanan yang kuat dari para tua adat atau ketua suku atau presiden suku-suku kecil di Suku Bunak yang bersatu melawan upaya pihak pembaharu adat maka kesulitan tetap ada didepan generasi muda pembaharu adat yang tidak manusiawi. Ya, penulisan ini tidak cukup untuk mengubah dunia tetapi membuka hati dan pikiran agar setiap pembaca terutama suku Bunak mau melihat sesuatu yang lebih, dalam menghidupi adatnya yang sudah melekat pada dirinya. Semua yang tidak efektif dan efisien perlu diekonomiskan tanpa mengaborsi yang namanya hakekat adat suku-suku kecil dalam wilayah suku Bangsa Bunak.

KENAL IDENTITAS SUKU BUNAK LEWAT NAMA

Penulis berjumpa dengan seorang yang bersuku bangsa Bunaq di Seminari Tinggi Widya Sasana Malang atau lebih dikenal dengan nama STFT Widya Sasana Malang. Teman itu bernama Lito Soares berasal dari Timor Leste berbangsa Suku Bangsa Bunaq. Lito Soares waktu itu sebagai frater Projo Keuskupan Dili. Kini Lito Soares menjadi Romo Projo Keuskupan Dili. Waktu saya bertemu di STFT "Widya Sasana" Malang sempat berdiskusi tentang panggilan teman-teman yang berasal dari Bali, ada yang bernama WAYAN, ada yang bernama KADEK, ada yang bernama NYOMAN, ada yang bernama KETUT, ada yang bernama MADE. Menurut kebiasaan adat Bali, nama-nama itu adalah nama khas setiap orang yang bersuku bangsa Bali. Lantas, penulis bersama dengan Lito Soares juga mengalihkan pandangan kepada nama panggilan dalan adat istiadat Suku Bangsa Bunaq. Dalam suku Bangsa Bunaq pun ada panggilan khas setiap anak yang lahir sebagai suku bangsa Bunaq.Apa kekhasan nama dalam Antropologi Suku Bangsa Bunaq? Ada panggilan khas untuk anak laki-laki dan anak perempuan berdasarkan kelahiran pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima.Panggilana khas untuk anak laki-laki. Nama panggilan adat untuk anak laki-laki pertama yang lahir dari ibu dalam sebuah keluarga, dipanggil dengan nama "APA". Nama panggilan untuk anak laki-laki kedua adalah bernama "POU". Anak ketiga dipanggil dengan nama "UJU". Anak keempat dipanggil dengan nama baptis adat suku bangsa Bunaq yaitu "UKA". Dan untuk anak terakhir dalam keluarga yang lahir kemudian dibaptis dengan nama adat suku Bunaq yaitu "GULO" artinya bungsu. Penulis dalam keluarga sebagai anak laki-laki kedua maka ibuku tercinta Mama Oliva Lawa Koi memanggilku dengan nama "POU". Nama Baptis adat Suku Bunaq "POU" sangat akrab di mulut ayah, ibu, kakek, nenek, dan seluruh keluarga di ibu peritiwi Suku Bunaq.Panggilan untuk kelahiran anak perempuan dalam sebuah keluarga suku Bunak. Anak perempuan pertama dibaptis dengan nama "AIBA". Anak perempuan kedua dibaptis dengan nama "POU". Anak perempuan ketiga dibaptis secara adat suku Bunaq dengan nama "UJU". Anak perempuan keempat dibaptis dengan nama "UKA". Anak perempuan terakhir dalam sebuah keluarga dibaptis secara adat dengan nama "GULO", artinya bungsu.Ada perbedaan pembaptisan anak pertama laki-laki dan perempuan dalam keluarga berdasarkan adat Suku Bunaq. Anak pertama laki-laki dibaptis dengan nama "APA". Anak pertama perempuan yang lahir dalam keluarga dibaptis dengan nama "AIBA". Berdasarkan Pembatisan adat itu, dalam sebuah keluarga Suku Bunaq, maksimal punya anak sepuluh yaitu 5 laki-laki dan 5 perempuan. Memang pada zaman dulu banyak anak banyak rezeki. Banyak anak berarti punya banyak tenaga kerja di kebun untuk bekerja secara maksimal menghasilkan hasil yang berlimpah. Waktu dulu hal itu sangat memungkinkan karena lahan masih luas, penduduk masih sedikit. Tetapi sekarang sudah lain pola pikir dan pola perilaku manusia suku Bunak. Banyak anak banyak beban, karena biaya hidup anak mahal, dan mencari pekerjaan sangat sulit. Maka sedikit anak semakin sejahtera. Banyak anak sulit sejahtera. Meskipun demikian, manusia memiliki akal budi. Mempunyai anak sedikit atau banyak dapat diatur oleh manusia yang berakal budi dalam kehidupan berkeluarga suku Bunak.

Rabu, Maret 26, 2008

KEUNIKAN WARISAN SUKU BUNAQ AITOUN


*P.Beneduktus Bere Mali,SVD*


Suku Bunak menganut sistem perkawinan matrilineal. Model perkawinan demikian berpengaruh terhadap urusan adat warisan di dalam sebuah keluarga. Penulis mencoba membagikan pengalaman pembagian warisan dalam suku penulis yaitu Suku Monewalu. Penulis mengawalinya dengan nenek dan kakek. Kakek saya bernama Vitalis Koi yang bersuku Uma Leon di desa Tohe tepatnya di Wilain. Nenek saya bernama Rovina Lika bersuku Monewalu. Kakek dan nenek ini menurunkan anak-anaknya yaitu Yeremias Berek, Simon Kali, Simon Tes, Salamon Mau Bau, Thresia Dau, Savina Moru, Maria Boe, Maria Biak, Maria Hoar dan Oliva Lawa Koi. Harta warisan dalam keluarga tersebut, diterima oleh anak-anak perempuan. Anak-anak laki-lakinya tidak mendapat warisan di dalam keluarga tersebut. Anak laki-laki yang telah berkeluarga tinggal di keluarga isteri yang menerima harta warisan dari kedua orang tuanya.
Oliva Lawa Koi menikah dengan Gabriel Mali. Keduanya menurunkan keturunan yaitu Maria Yasinta Bui, Maria Yustina Soik, Maria Ermelinda Boe, Maria Marsiana Lika, Maria Gervasia Lika, Thomas Maximus Bau Mali, Benediktus Bere Mali, Marianus Luan Berek. Dalam keluarga ini, yang berhak menerima harta warisan adalah anak-anak perempuan. Ini dipahami karena sistem perkawinannya matrilineal. Sistem Matrilineal suku bunak sangat khas. Keunikannya terletak dalam penentuan garis keturunan. Anak laki-laki bukan menjadi penentu garis keturunan. Anak perempuanlah yang menentukan garis keturunan. Kebun, harta kekayaan dalam suku Bunak, pasti diberikan kepada anak perempuan bukan kepada anak laki-laki. Anak laki-laki setelah menikah akan hidup dari harta warisan yang diterima oleh isterinya. Anak laki-laki hidup dan tinggal di kediaman isteri. Tempat kediaman keluarga baru setelah menikah di tempat kediaman isteri ini disebut matrilokal. Tetapi yang menarik, anak laki-laki setelah menikah tidak dimasukkan kedalam suku Isteri. Anak laki-laki tetap terikat dengan suku asalnya. Status anak laki yang sudah menduduki posisi om dalam keluarga sangat berpengaruh dalam menentukan pengambilan keputusan terhadap keponakan-keponakannya yang sesuku dengan om. Di sini anak-anak dalam sebuah keluarga sangat dibatasi oleh dua buah kontrol sosial yang sangat ketat. Anak-anak dikontrol oleh peran sentral om dan peran sentral kedua orang tuanya. Semua masa depan anak-anak, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh peran kontrol om dan kedua orang tua. Kontrol yang baik, human dan beriman akan menghasilkan kualitas anak-anak dalam sebuah suku kecil yang beriman sekaligus berkemanusiaan. sebaliknya tanpa kontrol kuat dari om dan kedua orang tua yang ditopang oleh kemanusiaan dan keimanan itu maka kehidupan anak-anak juga akan tidak terarah pada kedua penopang itu. Diharapkan bahwa kontrol itu jauh dari warna feodal. Kontrol yang ideal adalah kontrol dengan teladan kemanusiaan dan keimanan. Kontrol apapun bentuknya, para pengontrol harus diandaikan dibentuk oleh gaya hidup beriman dan berkemanusiaan. Dalam arti bahwa pihak pengontrol dalam hal ini kedua orang tua dan para om, harus menjadi teladan hidup beriman dan berkemanusiaan yang baik, agar kontrol itu tidak sekedar sebuah perintah yang menakutkan melainkan harus sebuah teladan hidup yang menyentuh hati setiap pribadi manusia yang mengalami pengontrolan itu. Realitas suku Bunak yang menganut sistem matrilineal yang demikian, terbuka bagi umum, terutama bagi para peneliti dari aneka disiplin ilmu untuk menegakkan penghargaan terhadap martabat manusia suku Bunak sebagai insan berperikemanusiaan dan beriman. Para peneliti diundang untuk datang dan melihat sendiri realitas sesungguhnya sistem matrilineal suku Bunak. Masih ada banyak hal yang masih tertutup rapat untuk dibuka oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu.***


Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..

Selasa, Maret 25, 2008

RUMAH SUKU ASTALIN DI SUKU BUNAQ AITOUN


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
 


Sharing Pengalaman Hidup Dalam Suku Bunak

1. Anak Bertanya Identitas Suku Bapa dan Bapa Memberi Jawaban tentang Identitas Sukunya

1.1. Mengenal Identitas Bapa dalam Relasi Malu dengan Aiba,a


Saya dilahirkan oleh kedua orang tua saya yang bersuku bangsa Bunak. Nama bapa saya adalah Gabriel Mali. Nama mama saya adalah Oliva Lawa Koi. Dalam suku Bunak ada juga kelompok-kelompok suku kecil. Mama saya berasal dari kelompok suku kecil yang dikenal dengan sebutan suku Monewalu. Suku Monewalu ini akan diuraikan atau disharingkan pada bagian identitas Suku Monewalu sebagai suku ibu saya dan saya sendiri mengikuti suku ibu dalam adatku yang menganut perkawinan Matrilineal. Bapa saya berasal dari sebuah suku kecil yang dikenal dengan sebutan Suku Astalin. Baik bapa maupun mama saya berasal dari sebuah tempat yang dikenal dengan nama Asueman. Pada bagian ini saya memusatkan perhatian pembaca pada pengenalan tentang suku Astalin yaitu kelompok suku bapa saya.
Bapa saya bernama Gabriel Mali. Bapak Gabriel Mali adalah seorang yang berasal dari satu kelompok suku kecil yang menyebar di suku Bunak yaitu Suku Astalin. Bapa Gabriel Mali ini dalam kebiasaan adat Suku bunak dikenal sebagai "Lal Gomo". Lal gomo merupakan sebutan bahasa Bunak bagi seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang adat istiadat suku Bunak. Lal Gomo adalah juga sebutan bagi seseorang yang pandai berbicara tentang adat yang ada dan berlaku dalam di Lingkungan adat istiadat suku Bunak. Dalam area gereja Katolik, bapak Gabriel Mali ini adalah Guru Agama Senior di Lingkungan Asueman, Paroki St. Theodorus Weluli, Dekenat Belu Utara, Keuskupan Atambua. Bapa Gabriel Mali menjadi Guru Agama Kampung sejak tahun 1960-an sampai dengan masa dewasa ini. Bapa Gabriel Mali memiliki pengabdian yang luar biasa kepada Gereja lewat Katekese, memimpin Ibadat Sabda Setiap Hari Minggu di Kapela Lingkungan Asueman, kecuali ada pastor paroki mengunjungi umat di Kapel Asueman.
Berikut ini penulis menguraikan secara deteil berbagi pengalaman kepada penikmat tulisan ini tentang asal-usul suku Astalin, Suku Bapa Gabriel Mali. Saya sebagai anaknya, ingin mengenal secara baik dan benar asal-usul suku Bapa Saya. Saya lewat tulisan ini lebih mengenal identitas suku Bapa saya. Saya mencoba melaksanakan harapan saya itu. Saya mendapat informasi yang selengkapnya lewat dialog santai dengan Bapak Gabriel, sambil minum kopi. Dalam suasana santai, rilek, didukung dengan otak segar, semua pembicaraan tentang asal-usul suku bapa Gabriel dapat berjalan dengan baik. Pembicaraan dengan Bapa Gabriel Mali tahap pertama ini berlangsung pada tanggal 21 Mei 2007 di rumah kelahiran penulis Malate-Telolo-Dusun Asueman-Desa Aitoun-Kecamatan Rai Hat-Kabupaten Dati II Belu-NTT. Pembicaraan itu ditulis dengan rapi, dan saya membawa hasil pembicaran itu kembali ke Surabaya, pada tanggal 28 Mei 2007. Setelah sekian lama saya membaca dan mendalami kembali secara pribadi hasil pembicaraan itu di Surabaya. Saya ingin menuliskan dan mempublikasikan pengalaman indah itu agar diketahui oleh pembaca pada umunya. Maka saya mulai menulis pengalaman itu.
Meskipun demikian, saya masih merasa belum lengkap untuk mempublikasikan asal-asul suku bapa Gabriel Mali, suku bapa kandung saya. Maka, pada hari Minggu, tanggal 9 Maret 2008, saya mendapat informasi yang lebih deteil tentang asal –usul suku bapa Gabriel Mali. Saya langsung menelephone Bapa Gabriel Mali. Informasi selengkapnya ini diterima dari wawancara langsung via telephone murah dengan menggunakan kartu Simpati Pede antara Penulis dengan Bapak Gabriel Mali yang tinggal di Rumah Induk Penulis Malate - Telolo - Lingkungan Asueman - Paroki St. Theodorus Weluli. Wawancara langsung antara penulis yang tinggal di Soverdi St. Arnoldus Janssen, Kamar No 12, Jalan Polisi Istimewa no. 09 Surabaya, dengan kode Pos 60265- Jawa Timur – Indonesia, dengan Bapak Gabriel Mali itu berlangsung dari pukul 20.30 - 22.30 Waktu Surabaya. Pembicaraan itu sungguh menarik. Informasi yang diperoleh lewat telephone itu menyempurnakan bahan hasil wawancara tatap muka dengan Bapa Gabriel Mali, pada 21 Mei 2007, lalu hasil paduan itu, saya ungkapkan dalam tulisan ini kepada pembaca. Penulisan ini berguna bagi pembaca agar dapat mengetahui dan mengenal identitas suku Astalin, suku Bapa Gabriel Mali. Generasi muda suku Astalin yang dewasa ini berkembang dan menyebar ke seluruh dunia, dapat mengenal asal-usul sukunya melalui penulisan sederhana ini. Sekaligus kekurangan dalam penulisan ini, terbuka untuk disempurnakan oleh setiap anggota suku Astalin yang membaca tulisan ini, agar pada edisi berikut, dapat dipublikasikan masukan dari pembaca yang mau menyempurnakan tulisan ini.
Bapak Gabriel Mali sebagai anggota Suku Astalin, yang bertempat tinggal di Dusun Asueman-Desa Aitoun- Kecamatan Rai Hat - Kabupaten Dati II Belu. Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (duabelas ) suku "Malu". Dua belas suku yang disebut sebagai suku malu itu menunjukkan bahwa suku Astalin itu berasal dari dua belas suku malu itu. Keduabelas suku itu memberikan perempuan dari sukunya kepada suku Astalin, dan menjadi suku Astalin yang ada di Dusun Asueman-Desa Aitoun dan bahkan dewasa ini sudah berkembang di tempat lain karena urbanisasi dan imigrasi dan sebagainya. Aiba’a artinya suku yang menerima perempuan. Malu artinya suku pemberi perempuan. Suku-suku yang menerima perempuan membentuk kelompok suku kecil di sebut suku Aiba’a. Suku yang memberi perempuan disebut suku Malu. Duabelas Suku "Malu" bagi Suku Astalin sebagai "Aiba'a" itu dapat disebutkan sebagai berikut :

1.1.1. Suku Leb

Suku Leb bertempat tinggal di sebuah tempat yang namanya Lua Guju. Suku Leb ini adalah suku yang memberi perempuan kepada suku Astalin. Perempuan yang berasal dari suku Leb dan masuk menjadi suku Astalin itu berkembang biak dalam suku Astalin sehingga memiliki keturunan yang berjumlah banyak. Anggota suku Astalin yang berkembang dari perempuan yang berasal dari Suku Leb itu selalu menempatkan Suku Leb sebagai pemilik derajat yang lebih tinggi. Suku Leb dihormati secara istimewa karena menjadi asal-usul suku Astalin. Maka dalam konteks ini Suku Leb sebagai pemberi perempuan disebut suku Malu bagi suku Astalin. Suku Astalin sebagai penerima perempuan dari suku Leb, disebut suku Aiba’a bagi suku Leb dalam semua relasi adat. Bapak Gabriel Mali sebagai Aiba’a bagi suku Leb. Suku Leb ini sebagai akar bagi asal-asul Bapa Gabriel Mali. Relasi erat antara suku Malu dengan Aiba’a ini akan terlihat secara jelas ketika ada satu anggota suku Astalin atau Suku Leb yang meninggal dunia. Pada waktu kematian itu urusan proses adat kematiannya sangat kompleks dan rumit. Kerumitan itu lebih tampak pada proses urusan adat kematian yang dialami oleh salah seorang anggota suku Astalin. Urusan adat kematian suku Astalin akan dapat dilaksanakan kalau, ada kehadiran sekaligus restu dari suku Malu yaitu suku Leb dan suku-suku malu lainnya bagi suku Astalin, dalam konteks relasi Bapa Gabriel dengan Suku Leb dan suku-suku malu lainnya. Dalam hal ini kematian terjadi di suku Astalin bapa Gabriel Mali. Suku-suku Malu berikut sebagai malu bagi suku Astalin Bapa Gabriel Mali. Relasi antara suku-suku Malu dengan Aiba’a itu akan tampak terlihat dalam adat kematian yang dialami suku Astalin sebagai suku Aiba,a. Penjelasan tentang asal-usul suku malu yang lain, seperti yang disebut dibawa ini, saya belum menguraikan asal-usulnya secara deteil karena saya belum mendapat informasi yang lengkap tentang suku-suku malu berikut. Saya hanya menyebutkan secara garis besarnya saja. Suku malu yang lain itu seperti berikut:

1.1.2. Suku Lelabere Bese

Suku Lelabere Bese ini adalah pemberi perempuan kepada suku Astalin. Suku yang memberi perempuan ini disebut suku Malu. Sedang suku Astalin sebagai penerima perempuan disebut sebagai suku Aiba’a. Relasi antara suku Lelebere Bese dengan suku Astalin ini akan didalami secara panjang lebar dalam pembahasan tentang suku Lelabere Bese. Penulis ingin menggali dan mendalami setiap suku kecil di dalam Suku Bunak, termasuk Suku Lelabere Bese ini dalam publikasi berikutnnya. Untuk saat ini, penulis memfokuskan pembaca tulisan ini pada Suku Astalin.

1.1.3. Suku Lelabere Aisal Bul

Suku Lelebere Aisal Bul ini adalah suku Malu bagi suku Astalin sebagai Aiba’a. Suku Aiba’a adalah suku yang menerima perempuan dari suku Lelebere Aisal Bul. Mendalami suku Lelabere Aisal Bul ini penulis berencana akan dilaksanakan pada edisi-edisi berikutnya. Penulis pada saat ini memfokuskan perhatian pada suku Astalin Bapak Gabriel Mali yang berasal dari Suku Leb.

1.1.4. Suku Lelabere Kaluk

Suku Lelabere Kaluk ini juga disebut sebagai suku Malu bagi suku Astalin yang berkembang dan hidup di Suku Bunak, khususnya di Lingkungan Asueman, Paroki Santo Theodorus Weluli. Suku Lelebere Kaluk ini juga memberi perempuannya kepada Suku Astalin. Suku Astalin yang anggotanya berkembang banyak dewasa ini berasal dari Suku Lelebere Kaluk. Relasi adat Suku Malu dengan Suku Aiba’a ini menjadi satu relasi yang abadi, dari generasi ke generasi. Relasi adat semacam ini dilihat dalam pola pikir sistem perkawinan matrilineal yang sedang hidup dan berkembang dalam adat istiadat suku Bunak sampai dewasa ini.

1.1.5. Suku Lelabere Delo Bul

Suku Lelabere Delo Bul sebagai satu suku kecil pemberi perempuan kepada suku Astalin yang berkembang sampai dewasa ini dalam adat-istiadat suku Bangsa Bunak sebagai suku Besar. Suku Bunak ini disebut demikian karena memiliki satu bahasa yaitu bahasa Bunak yang mengikat sebutan itu. Semua yang berbahasa Bunak disebut suku Bunak. Relasi malu dengan aiba’a ini didalami dan dipahami dalam pola sistem perkawinan matrilineal yang sedang berkembang dalam suku Bunak.

1.1.6. Suku Hokiik "Deu Masak"

Suku Hokiik Deu Masak ini adalah suku malu karena suku ini adalah pemberi perempuan kepada Suku Astalin. Suku Astalin yang menerima perempuan disebut sebagai suku Aiba,a dalam seluruh urusan adat yang berlaku dalam suku Bunak.

1.1.7. Suku Hokiik "Deu Gol"

Suku Hokiik Deu Gol adalah suku yang memberi perempuan kepada suku Astalin. Suku yang memberi perempuan kepada suku Astalin ini disebut atau dikenal dengan nama suku Malu. Suku Astalin yang menerima perempuan dari suku Hokiik Deu Gol disebut suku Aiba’a. Dalam upacara adat kematian salah seorang anggota suku Astalin yang merupakan keturunan dari perempuan yang berasal dari Suku Hoiik Deu Gol ini, ketua suku Hokiik Deu Gol ini yang pertama menancapkan tajak dalam menggali kubur bagi yang meninggal itu. Demikian juga pemberkatan ala adat kepada anggota suku Astalin yang berasal dari Suku Hokiik Deu Gol ini diberikan oleh Suku Hokiik Deu Gol sebagai suku Malu. Suku malu memberikan rahmat berkat kepada Anggota Suku Astalin yang berasal dari suku Hokiik Deu Gol. Suku Malu yaitu suku pemberi perempuan kepada suku Astalin yaitu suku Hokiik Deu Gol ini dikenal oleh Suku Astalin yang berasal dari Suku Hokiik Deu Gol sebagai asal rahmat kehidupan mereka, dalam relasi adat yang berlangsung abadi dalam suku Bunak.

1.1.8. Suku Lakora bertempat tinggal di Magil

Suku Lakora adalah suku Malu bagi suku Astalin. Suku Astalin disebut sebagai suku Aiba,a. Suku Astalin sebagai suku yang menerima perempuan dari suku Lakora disebut sebagai suku Aiba,a bagi Suku Lakora. Suku Malu yaitu suku pemberi perempuan. Dalam hal ini Suku Lakora adalah pemberi perempuan maka dia disebut suku malu bagi suku Astalin. Relasi antara suku Malu dengan suku aiba’a ini akan tampak kompleks dan agak rumit terlihat jelas nanti dalam seluruh proses adat kematian. Adat kematian disebut oleh orang bersuku bunak dengan istilah adat “Lal Guju”.

1.1.9. Suku Sul Por di Magil

Suku Sul Por ini bertempat tinggal di Magil. Suku ini memberi perempuan kepada suku Astalin di Asueman. Pemberian perempuan ini berlangsung dalam perayaan adat. Model adat seperti ini dapat dipahami dalam sistem perkawinan matrilineal yang berlaku dalam suku Bunak sebagai suku besar. Relasi suku pemberi perempuan dan suku penerima perempuan ini akan terlihat rumit dan kompleks dalam upacara adat kematian. Anggota suku penerima perempuan yang salah satu anggota sukunya meninggal, proses adat kematian berlangsung secara tidak efektif dan efisien. Ada banyak hal yang tidak ekonomis dan tidak praktis dalam kacamata orang modern yang hidup di kota dan hanya bersandar kepada kehidupan agama dan mengurangi urusan adat yang berbelit-belit. Pengalaman penulis selama hidup dalam suku Bunak membuktikan hal di atas.

1.1.10.Suku Loka Bere di Magil

Suku Loka Bere ini bertempat tinggal di sebuah tempat yang dikenal dengan sebutan Magil. Rumah adat suku ini ada di Magil. Suku ini sebagai pemberi perempuan kepada suku penerima perempuan yaitu suku Astalin yang ada di Asueman. Suku Astalin sebagai Aiba’a bagi suku Loka Bere di Magil.

1.1.11.Suku Nikaran Deu Masak di Maumutin

Suku ini adalah suku yang memberi perempuan kepada suku penerima perempuan yaitu suku Astalin. Suku Nikaran Deu masak ini berdiam di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Maumutin. Suku Astalin sebagai penerima perempuan disebut sebagai Aiba’a bagi suku pemberi perempuan yaitu suku Nikaran Deu Masak. Relasi antara suku pemberi perempuan dengan suku penerima perempuan ini selalu dibangun kembali dan terus dihidupi dalam adat kematian yang terjadi dalam kedua suku tersebut. Urusan adat itu bila dilihat dari segi praktis dan efektivitasnya memang boleh dikatakan dapat menimbulkan kemiskinan suku bunak yang berkepanjangan. Tetapi hal ini dapat dilihat dari soal relasi sosial adat, dan persatuan adat maka dalam adat suku bunak khususnya relasi adat suku pemberi perempuan dan penerima perempuan ini, sebagai jaring-jaring persatuan erat antara suku-suku kecil yang tersebar di dalam suku bunak. Relasi persatuan adat yang demikian, sebetulnya tidak memberi cela bagi pihak luar atau golongan lain untuk memecahbelah suku Bunak.

1.1.12. Suku Nikaran Deu Gol di Maumutin

Suku Nikaran Deu Gol ini adalah suku yang memberi perempuan kepada suku penerima perempuan yaitu suku Astalin. Suku pemberi perempuan disebut Malu. Suku penerima perempuan disebut Aiba,a. Relasi kedua suku ini akan terbangun kokoh dan terlihat dalam proses adat kematian yang biasanya berlangsung 3-4 hari. Selama urusan adat kematian itu, semua asal-usul anggota suku yang meninggal akan diceriterakan secara deteil kepada anggota suku yang sedang berduka, ingatan akan asal-usul sukunya tetap dibangun kembali. Kesadaran akan asal-usul suku itu akan berdampak pada perubahan perilaku anggota suku yang tahu akan asal-usulnya. Suku pemberi perempuan akan dihormati dan dihargai dan ditempatkan pada status adat yang lebih terhormat dalam urusan adat kematian. Penghargaan Aiba’a kepada suku pemberi perempuan itu juga terus dihidupi dalam relasi sosial adat pada umumnya. Keadaan sosial adat ini menarik untuk diteliti dan hasil penelitian itu perlu dipublikasikan untuk dikenal, dan ditemukan cela-cela keunggulan dan ketertinggalan suku Bunak yang menganut sistem adat seperti ini, bila ditakar dengan pola kemanusiaan global yang berkembang dalam dunia dewasa ini

1.2. Mengenal Identitas Malu dengan Aiba’a dalam Adat Kematian

Sebuah adat kematian akan dilaksanakan oleh Suku Astalin jika semua suku Malu yang jumlahnya 12 Suku tersebut itu hadir di tempat pelaksanaan adat kematian oleh Suku Astalin. Seorang anggota suku Astalin harus datang langsung beritahu sekaligus mengundang secara adat para suku malu itu untuk hadir menyaksikan Adat Kematian Seorang anggota Suku Astalin. Pemberitahuan itu tidak boleh lewat "SMS" atau lewat Telephone atau via HP, atau lewat surat. Presiden Suku Astalin atau ketua suku Astalin menyuruh seorang anggota suku Astalin langsung datang ke masing-masing presiden Suku "Malu" itu dan utusan resmi ketua suku Astalin itu memberitahukan secara jelas kepada para presiden suku malu yang berjumlah 12 suku malu tersebut bahwa akan segera melaksanakan adat kematian suku Astalin. Undangan model ini sebagai satu apresiasi Presiden Suku Astalin sebagai "Aiba'a" (penerima perempuan) kepada Para Presiden Suku "Malu" (pemberi perempuan). Undangan seperti ini satu penghargaan yang mulia dari pihak "Aiba'a' kepada "Malu". Memang bila ditakar dari segi praktisnya, undangan seperti ini sangat tidak efektif dan tidak efisien dalam sistem jaringan komunikasi canggih dewasa ini. Kalau toh para presiden suku malu yang jumlahnya 12 suku tersebut tahu berita kematian seorang anggota suku Astalin lewat orang lain atau lewat SMS, berita itu dianggap bukan berita yang sah atau resmi karena informasi semacam itu keluar dari mulut orang lain bukan dari mulut presiden suku atau ketua suku Astalin atau lewat utusan resmi presiden suku Astalin.
Pengecualian bagi seorang anggota suku malu yang keluar pulau karena tugas tertentu, bisa dihubungi lewat telephone atau SMS. Telephone atau SMS itu pun harus oleh ketua suku Astalin atau utusan resmi ketua suku Astalin. Diusahakan bahkan diwajibkan agar telephone atau SMS itu oleh presiden suku atau ketua suku Astalin. Dalam konteks undangan seperti ini, informasi yang diterima oleh suku malu dapat dikategorikan sebagai undangan yang sah. Perkembangan teknologi dan komunikasi yang cepat dapat mengikis gaya tradisional menyebarkan dan menyampaikan undangan adat dari Suku Malu kepada suku Aiba’a. Itulah satu dampak perkembangan komunikasi pada zaman ini. Secara perlahan dan bahkan orang-orang desa yang masih kuat berpegang pada adat istiadat nenek moyang pun jaringan komunikasi yang berkembang pesat memaksa mereka untuk mengikuti cara modern dalam menyampaikan informasi dan terutama dalam konteks ini termasuk undangan untuk urusan adat kematian. Undangan para Presiden Suku "Malu" atau yang mewakili Setiap Suku "Malu" itu bertujuan agar mereka semua hadir dalam pelaksanaan adat kematian itu. Kalau satu suku "Malu" tidak hadir maka adat kematian belum dapat dimulai. Menunggu semua wakil suku "Malu" hadir, baru segera dimulai tata adat kematian. Upacara adat akan berbelit-belit atau urusan adat kematian diulur-ulur kalau para suku "Malu" tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang karena ada persoalan atau tersinggung karena soal politik, soal konflik antara Suku "Malu" atau antara suku malu dengan suku aiba’a. Persoalan demikian dijadikan alasan bagi pihak-pihak yang konflik tidak mau datang ke tempat berduka, tempat pelaksanaan adat kematian oleh anggota suku Astalin sebagai suku "Aiba'a". Maka semua soal yang ada perlu diselesaikan. Semua yang mengalami masalah atau konflik itu harus didamaikan oleh para pemuka adat dalam hal ini para ketua suku atau presiden suku sehingga sesudah damai-aman-rujuk, adat kematian suku Astalin dapat dilaksanakan. Di sini adat kematian sebagai kesempatan untuk mendamaikan pihak-pihak yang konflik. Proses perdamaian itu bukan tanpa biaya. Dibutuhkan sejumlah uang dan kain adat serta sedikit minuman alkohol serta korban binatang dalam proses perdamaian itu. Pihak-pihak yang konflik harus memulihkan kembali relasi yang telah retak dengan memberikan uang, kain adat dan korban binatang dan makan minum kepada para pendamai dalam hal ini para presiden suku atau ketua suku selaku pemuka adat dalam sistem adat suku Bunak. Suku "Malu" yang tidak mau datang karena tersinggung atau konflik dengan Suku Astalin sebagai suku "Aibaa'a" itu disebut dalam bahasa Bunaq, dengan istilah "Malu Aiba'a Gege Robon". Uang yang dibawah oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Suku "Malu" itu sebagai uang rujuk - rukun kembali antara suku "Malu" yang bersangkutan dengan suku Astalin sebagai "Aiba'a" dalam proses perdamaian itu. Setelah rukun, Suku "Malu"itu memenuhi undangan suku Aiba’a untuk datang menghadiri, menyaksikan perayaan adat kematian salah seorang anggota suku Astalin sebagai suku Aiba’a.
Masalah akan lebih rumit kalau anggota suku "Malu" itu banyak dan juga semuanya pada konflik dengan Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Semua konflik itu diselesaikan satu persatu untuk mencapai rujuk-rukun. Semakin banyak masalah semakin banyak waktu yang dibutuhkan dalam proses perdamaian oleh para pendamai. Sesudah semuanya damai, Suku Astalin baru dapat melaksanakan adat kematian secara baik dan benar menurut adat yang berlaku turun temurun.
Soal-soal yang melahirkan konflik itu biasanya sederhana, pada umumnya karena Para Suku " Malu" merasa dilecehkan oleh kata-kata Suku "Aiba'a". Semakin banyak konflik semakin tidak efektif dan tidak efisien melaksanakan adat kematian suku Astalin. Perayaan adat kematian ini dalam istilah bahasa Bunaq dikenal dengan sebutan "Lal Hoon" atau disebut juga dengan nama “Lal Guju”. Semua konflik antara "Aiba'a" dengan setiap suku "Malu" sudah diselesaikan secara damai, dan semua suku "Malu sudah hadir di sekitar perayaan adat kematian, barulah dilaksanakan adat Kematian atau " Lal Ho’on". Proses adat "Lal Ho’on" atau “lal Guju”artinya adat kematian dapat diuraikan dalam pelaksanaan adat kematian seperti dibawa ini. Pelaksana Adat kematian adalah suku Astalin dengan susunan anggota suku "Malu"nya yang berbeda-beda. Perayaan adat Kematian suku Astalin sebagai berikut :

1.2.1. "Tel Taba"

Suku Leb adalah suku Malu bagi Bapak Gabriel Mali, yang bersuku Astalin sebagai suku Aiba’a. Suku Malu yang berhak untuk pertama kali atau mengawali menancapkan tajak pada tanah tempat kuburan yang akan digali, bagi seorang anggota suku Astalin yang meninggal dan akan dimakamkan di tempat yang akan digali itu. Suku malu itu adalah Suku Leb. Mengapa harus suku Leb yang mengawali menancapkan tajak sebelum penggalian kubur bagi kuburan seorang anggota suku Astalin-nya Bapak Gabriel Mali? Karena Suku Leb adalah asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali. Suku Astalin Bapak Gabriel Mali ini berasal dari Suku Leb. Anggota suku Astalin yang meninggal yang adat kematiannya sedang dirayakan ini sesungguhnya berasal dari suku Leb dan suku Leb juga yang mengantarnya ke tempat kuburan dan kedalam dunia para leluhur atau “Mot Tama”. Suku Leb ini memberikan seorang perempuan kepada suku Astalin dan di dalam suku Astalin keturunan itu bertambah banyak lewat perkawinan. Sistem ini dipahami dalam konteks perkawinan matrilineal. Maka relasi malu dengan aiba’a di sini dikenal sebagai relasi penerima dan pemberi perempuan bukan penerima dan pemberi laki-laki atau pria. Itulah keunikan sistem perkawinan adat matrilienal suku Bunak, yang membangun relasi adat suku malu dengan suku aiba’a.
Selama Suku Leb ini ada dan tidak berhalangan untuk hadir, Suku Leb ini yang berhak menancapkan tajak untuk pertama kali, di atas tanah, tempat untuk kuburan bagi seorang anggota suku yang telah meninggal. Suku Leb mendapat stipendium adat untuk penancapan pertama itu. Stipendium itu adalah Si Besal atau Si Geweel dan sejumlah uang. Kalau Suku Leb berhalangan hadir dengan alasan yang masuk akal, maka Presiden Suku Leb ini memberi mandat kepada suku "Malu" yang lain untuk menancapkan tajak pertama di atas tanah tempat kuburan itu. Pemberian mandat berarti pemberian stipendium yaitu Si Besal atau Si Geweel kepada "Malu" yang menerima mandat itu. Sesudah itu penggalian dilanjutkan oleh Suku "Malu" yang lain yaitu Suku Lelabere Delo Bul. Mereka juga mendapat stipendium yaitu Sejumlah daging dan sejumlah uang. Untuk "Tel Taba" ini ada seekor Babi yang dikorbankan dan sejumlah uang dan siri pinang yang telah disepakati secara adat. Tata adat demikian diwariskan secara turun-temurun dalam adat kematian yang dialami oleh Suku Astalin. Dari sharing pengalaman di atas, maka suku Astalin yang tersebar di seluruh penjuru suku Bunak itu berasal dari kedua belas suku malu yang telah disebutkan di atas. Masing-masing anggota suku Astalin tahu persis, dari mana dia berasal. Dengan kata lain Suku Astalin itu merupakan pendatang dari keduabelas suku Malu dan membentuk suku baru yaitu suku Astalin sebagai suku Aiba’a bagi keduabelas suku Malu tersebut.

1.2.2. "Gon Tolo"

Para "Malu" akan memindahkan tangan seorang anggota suku Astalin yang meninggal di atas dadanya. Pemindahan ini punya stipendiumnya tersendiri. Jumlahnya sekitar Rp.50.000 sampai Rp.100.000. Tergantung permintaan "Malu" yang memindahkan tangan suku Astalin sebagai "Aiba'a" yang telah meninggal. Untuk adat pemindahan tangan ini satu ekor babi dibunuh.

1.2.3. "Gawak"

Gawak berarti mengarak Peti Jenazah ke tempat pemakaman. Orang yang memikul peti jenazah pada dasarnya para suku malu dengan para pemuda yang bertenaga. Peti Jenazah itu ditutup dengan kain adat yang bagus. Kain adat itu akan diperebutkan oleh para suku "Malu". Prinsip perebuatan itu adalah malu siapa yang cepat dan gesit akan mendapat dan memiliki kain penutup peti itu. Perebuatan biasanya sebelum tiba di Kuburan. Setelah upacara penguburan, anggota suku "Malu" dan "Aiba'a" kembali ke rumah duka.

1.2.4. "Il Hesik"

"Il Hesik" artinya para "malu" memercikkan air ke atas para "aiba'a" yang berduka. "Il hesik" ini dilaksanakan di depan rumah duka. Waktu pulang dari kuburan usai penguburan, para suku "Malu" telah mendahului "para aiba'a" dan berdiri di depan pintu rumah duka, dan telah siap dengan air berkat secara adat ala para suku "malu". Caranya, para anggota suku "Aiba'a" yang pulang dari penguburan itu berdiri berbaris di depan pintu rumah duka, direciki dengan air suci ala adat itu kemudian baru mereka masuk ke dalam rumah duka itu. Perecikan itu bermakna menyucikan hati, pikiran duka keluarga "aiba,a" dan menguatkan serta meneguhkan mereka agar tidak dikuasai oleh rasa duka yang berkepanjangan. Mereka menyerahkan kepergian anggota suku yang meninggal dengan tulus tanpa suatu beban berat tertentu.

1.2.5. "En Gawa Gini"

Sesudah suku "Malu" memerciki suku "Aiba'a", kini mereka berkonsentrasi bekerja di dapur untuk mempersiapkan makan-minum melayani para suku "Malu" yang ada. Suku "Malu" sebagai tamu agung yang harus dilayani oleh suku "aiba'a". Para suku "Aiba'a" memberi pelayanan yang istimewa dan sempurna kepada para suku "Malu" yang ditempatkan pada posisi sebagai "Raja" di mata Suku "Aiba'a". Makanan harus enak, dengan lauk pauk dan sayur-sayuran yang istimewa. Kalau makan kurang enak, para "malu" biasanya memberi komentar atau penilaian yang agak miring kepada para "aiba'a" yang melayani mereka.

1.2.6. "Lasik Wa"

Para "aiba'a" pun makan bersama setelah melayani para "malu". Dalam makan bersama, presiden suku "Aiba'a" mengumumkan kepada "Mane Pou" dan "Deu Gomo", untuk mengumpulkan uang. Jumlah uang yang akan dikumpulkan sebesar Rp.20.000/orang atau Rp.50.000/orang, berdasarkan kesepakan dan keputusan presiden suku Aiba’a. Uang yang dikumpulkan itu disebut "Lasik Wa". Uang itu untuk apa? Untuk beli babi untuk adat "Si Por Pak". Adat "si por pak" yaitu adat memasukkan jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal kedalam Persekutuan para leluhur di rumah adat suku leluhur di dunia seberang. Rumah adat para leluhur itu disebut "Mot". Memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam rumah adat Suku Leluhur itu disebut "Mot Tama". Para "Malu" hidup damai dengan "aiba'a" dan hadir dalam seluruh adat kematian itu secara lengkap sempurna maka jiwa suku anggota suku "aiba'a" itu layak masuk dalam rumah adat suku leluhur atau "Mot Tama". Sebaliknya kalau salah satu malu tidak setuju atau tidak hadir dalam adat kematian, maka adat kematian itu tidak dapat dilaksanakan, dibatalkan, ditunda maka jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal itu masih berkeliaran di luar rumah adat suku leluhur, dia belum masuk dalam rumah adat leluhur atau belum "Mot Tama" yang secara harafiah diartikan belum masuk rumah adat para leluhur yang berbahagia abadi di dalam "MOT".Uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu juga akan digunakan untuk beli beras, beli sayur-sayuran, beli minuman, kopi, gula. Uang itu juga digunakan untuk uang stipendium bagi para "Malu" yang akan melaksanakan "Kaba" dan "Tais Hota". Uang itu digunakan untuk membeli siri pinang yang akan digunakan untuk "Kaba" "aiba'a" oleh "malu". Uang itu digunakan untuk membeli jumlah "taka giral" sejumlah banyaknya suku "malu". Dalam Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (dua belas) suku "Malu" maka harus disiapkan 12 (dua belas "taka giral").Biasanya uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu sangat banyak. Setelah adat kematian selesai, biasanya masih ada uang sisa atau saldonya.
Pada zaman dulu, pengumpulan uang pada satu tangan tunggal yaitu presiden suku tanpa sekretaris yang mencatat nama dan jumlah uang yang dikumpulkan oleh para anggota suku "aiba'a" baik dari "mane pou" maupun dari "deu gomo", maka sisa uang itu akan masuk dalam kantong saku presiden suku dan menjadi milik pribadi presiden suku atau ketua suku "aiba'a". Keadaan ini disebut dalam bahasa Bunak “Kotin Gol”.
Pada dewasa ini, hal semacam itu telah dikendalikan oleh seorang sekretaris sekaligus bendahara yang dipilih secara musyawarah-mufakat oleh anggota suku aiba’a. Sekretaris itu bertugas menulis nama para pengumpul uang dalam “Lasik Wa’ itu, pengeluaran dengan semua bukti / Nota belanja, dan pada akhir adat kematian itu dibacakan atau dilaporkan secara terbuka kepada anggota suku aiba’a, sehinnga anggota suku tidak mencurigai atau berprasangka buruk terhadap Presiden suku atau ketua suku tentang uang yang telah terkumpul untuk seluruh urusan adat tersebut. Dengan demikian, anggota suku semakin percaya kepada kejujuran presiden suku, pelayanan dan pengorbanannya dalam memimpin sebuah adat kematian.

1.2.7. "Si Giwitar Pak"

Adat "Si Giwitar Pak" ini dipimpin oleh "Lal Gomo". Dia/lal gomo adalah pribadi yang tahu adat asal-usul suku Astalin sebagai "aiba'a". Dia menjelaskan sejarah suku "aiba'a" dengan jujur, dan benar. Kesalahn dalam hal ini akan mendapat hukuman atau kutukan dari para leluhur. Dia juga menyampaikan doa atau mantra-mantra bagi jiwa orang yang meninggal. Doa-doa itu mengarak masuk jiwa anggota suku yang meninggal masuk ke dalam rumah adat suku leluhur atau "Mot Tama". Setiap "Malu" mendapat satu ikat daging dengan sejumlah uang berkisar Rp. 50.000 sampai Rp.100.000. Dalam hal ini semakin besar daging dan jumlah uang tentu saja para malu yang menerima bagiannya sangat gembira. Ini semacam gaji atau stipendium mereka. Dalam suku Astalin yang mempunyai 12 "malu" maka daging yang dibagi dan uang yang merupakan bagian "malu" sejumlah 12 ikat daging dengan sejumlah uang yang telah disetujui dan diberikan. Setiap malu setelah doa "Lal Gomo" itu mengangkat bagiannya masing-masing. Biasanya setiap bagian itu diserahkan oleh presiden suku "aiba'a" kepada setiap suku "malu". "Lal Gomo" mendapat stipendiumnya tersendiri. Di sini tampak bahwa pihak "aiba'a" sudah berduka, harus melaksanakan kewajiban memberi uang dan daging kepada setiap wakil pihak suku "malu". Dalam hal ini yang mendapat pemasukan besar adalah pihak suku "malu" sedangkan yang wajib membayar uang kepada "Malu" adalah suku Astalin sebagai "aiba'a". Model adat kematian ini memang memiskinkan keluarga aiba,a yang berduka kalau dilihat dari segi ekonomisnya.


1.2.8. "Tais Hota"

Setelah pelaksanaan adat di atas meja altar "Si Por Pak" kini beralih ke meja altar adat "Tais Hota". Proses adat di atas altar adat "Tais Hota" adalah para "malu" membawa kain adatnya di atas altar adat "Tais Hota". Para "malu" menawarkan "Tais" atau kain adat kepada para "aiba'a". Para "aiba'a" harus membeli setelah tawar menawar itu. Tawar-menawar oleh pihak malu kepada suku aiba’a, tapi kemudia aiba’a tidak membeli dengan harga yang telah dipatok atau ditentukan oleh malu, maka pihak "malu" akan tersinggung, merasa ditolak, tidak dipedulikan, tidak dihargai oleh suku aiba’a. Itu akan menimbulkan konflik baru yang lahir dari perasaan ditolak dan tidak dihargai itu. Persoalan itu akan tetap tersimpan dalam hati malu yang merasa tersinggung itu dan diungkapkan kembali pada adat "Tais Hota" pada kematian berikut, yang dialami oleh Suku Astalin sebagai Aiba’a. Pada kematian berikut akan mengalami urusan yang rumit karena konflik yang lahir dari rasa ditolak itu harus ditebus atau dirujuk kembali. Rujukannya dengan cara, pihak "aiba'a" yang telah menimbulkan rasa tersinggung itu, memberi sejumlah uang kepada pihak "malu" tersebut.
Pihak "aiba'a" yang tidak mau membeli kain adat itu biasanya alasannya masuk akal secara ekonomis. Kain adat yang kurang meyakinkan harus ditawar dengan harga mahal misalnya Rp.50.000 atau Rp.100.000,- biasanya pihak "aiba'a" menolak untuk membeli. Tapi penolakan itu melahirkan beban adat kematian pada kematian berikut. Baik ataupun buruknya kain adat yang ditawarkan di atas "meja altar adat Tais Hota" ini, harus dibeli oleh aiba,a hanya karena demi relasi harmonis antara suku malu dengan suku aiba’a. Secara akal sehat dan secara ekonomis, pihak yang untung adalah suku malu sedang pihak aiba’a tetap berada pada pihak yang kalah dan rugi. Di sini apa yang terjadi? Dalam hal demikian, adat memang sangat tidak ekonomis hanya demi gengsi belaka. Ada pihak yang menerima keuntungan besar yaitu "malu". Ada pihak yang dirugikan yaitu suku Astalin sebagai "Aiba'a". Ada prinsip ekonomi berlaku bagi para suku "malu" yaitu mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu perayaan di atas meja altar adat "tais hota". Ada unsur bisnis bermain dalam adat kematian yang dimainkan oleh para suku "malu". Sedang bagi para suku "Aiba'a" siap berkorban melayani kebutuhan atau keinginan para "malu" demi sebuah nilai yaitu relasi harmonis, rukun, damai, mengalah dalam relasi dengan para suku "malu". Barangkali, adat "Tais Hota" ini bisa ditiadakan karena sangat merugikan suku yang berduka dalam hal ini suku Astalin sebagai sebuah suku yang berperan sebagai "aiba'a" dalam altar meja adat "Tais Hota".

1.2.9. " Kaba"

Dari meja altar adat "Tais Hota", kini beralih ke meja altar adat "Kaba" yang dibuat oleh pihak "malu" kepada "aiba'a". Ada aturan main di atas meja altar adat "Kaba". Di depan setiap wakil 12 Suku "malu" disediakan masing-masing "Taka Giral". Di dalam setiap "Taka Giral" yang disediakan di depan 12 Suku "Malu" itu, diisi Siri-Pinang-Uang Sitipendium sekitar Rp. 200.000 per "Taka Giral" kepada setiap "malu". Siri-pinang -uang dalam "Taka Giral" itu didoakan secara bersama-sama oleh para "malu". Setelah itu setiap malu mengambil siri-pinang yang ada dalam "Taka Giral" itu lalu makan-kunya.Lalu setiap anggota "aiba'a" dipanggil secara berurutan untuk menerima "Kaba" dari para "malu. Pertama di depan Malu suku Leb sebagai asal asli suku Astalin. Wakil Suku Leb sebagai "Malu", memberi "Kaba" yaitu berkat leluhur lewat diri suku "malu" yaitu suku Leb yang mengalirkan berkat leluhur itu kepada suku Astalin sebagai suku "aiba'a". Caranya, suku Leb itu mengambil siri-pinang yang telah dikunyah - merah dari mulutnya lalu dengan itu membuat tanda salib di dahi anggota suku Astalin yang menerima "Kaba" atau menerima berkat leluhur. Kemudian dari Suku Leb ini beralihlah para suku aiba’a itu ke suku-suku malu yang lain. Suku-suku "malu" yang lain ini memberi berkat leluhur tidak dengan ambil ampas merah sirih pinang dari mulutnya, tetapi suku "aiba'a" mengulurkan ujung kedua tangannya kepada setiap suku "malu" itu sehingga suku-suku "malu" itu mengalirkan berkat dan rahmat dari para leluhur kepada suku "aiba'a" itu dengan meniupkan kedua ujung tangannya. Setiap wakil suku yang duduk di altar adat "Kaba" ini meniupkan ujung tangan suku "aiba'a" sampai semua suku aiba’a menerima berkat “kaba” itu dari suku malu. Usai perayaan di atas meja altar adat "Kaba" berarti belum selesai seluruh rangkaian adat kematian atau adat "Lal Ho'on.

1.2.10.Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu



Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.


Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.

Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER  dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.

Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.

Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir  atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.

Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.

Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.

Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir  atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.

Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER  atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.

Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.

Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.

Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.

Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.

Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti  dan terbukti bahwa: "jika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."***

Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..